Senin, 05 Januari 2009

Pandangan Kristen tentang Konflik Israel-Palestina

Oleh : Leonard C.Epafras
 
"Bumi tertawa ketika seseorang mengklaim sebuah tempat sebagai miliknya "
Pepatah Hindustan
 
 
Pendahuluan
 
    Tanggal 28 September 2000, seharusnya menjadi hari yang istimewa bagi
orang Yahudi dalam mempersiapkan kedatangan hari raya Tahun Baru (Rosh
ha-Shanah), 30 September. Ketika itu mereka berkumpul di Tembok Ratapan
(Kotel, Tembok Barat) di Yerusalem Tua, untuk berdoa. Tembok ini adalah
sisa-sisa reruntuhan tembok yang mengelilingi Bait Allah zaman Yesus yang
dibangun oleh Raja Herodes. Rosh ha-Shanah disebut juga yom teru'ah (hari
peniupan sangkakala, Bil. 29:1) yaitu hari di mana terompet sangkakala
(shofar) ditiup sebagai tanda dibukanya lembaran baru. Biasanya pada saat
itu, setelah ibadah, orang Yahudi akan saling mengucapkan le-Shanah tovah
tehatem ve-tikatev {Semoga engkau tercatat (dalam kitab kehidupan) dan
mengalami tahun yang baik}. Mereka juga akan makan hallah (roti Sabat),
sebagai lambang kehidupan kekal, dan minum madu (atau makan apel), sebagai
lambang harapan akan tahun yang manis. Sebagian orang Yahudi yang lain akan
menjalankan tradisi tashlikh, yaitu tradisi "membuang dosa" di sebuah
kolam, sungai atau laut dengan menyimbolkannya melalui membuang semua
kotoran dalam kantong celana atau baju. Makna religius yang lain dari hari
raya ini terungkap melalui sebutannya sebagai yom ha-din (hari
penghakiman), yang menurut Talmud (kitab tersuci kedua setelah Alkitab
Yahudi), Allah akan menetapkan siapa-siapa yang akan tercatat dalam "kitab
kehidupan" dan "kitab kematian" untuk tahun mendatang. Menurut cerita,
penetapan itu dilakukan Tuhan selama sepuluh hari, yang dikenal dengan
masa-masa "pertobatan" (aseret yemei teshuvah), lalu keputusannya diambil
pada puncak hari-hari itu, yaitu hari raya Pendamaian (Yom Kippur, Im.
23:26-32). Selama sepuluh hari itu orang Yahudi saleh melakukan berbagai
ritual pertobatan agar pada hari Pendamaian mereka ikut tercatat dalam
kitab Kehidupan, sehingga dapat menjalani tahun yang baru dengan jiwa yang
baru dan bersih.
    Di lain pihak, pada hari itu pula umat Muslim menjalankan ibadah shalat
Jum'at di Haram al-Sharif (orang Yahudi menyebutnya Har ha-Bayit, bukit
Bait Allah), tempat beradanya dua bangunan suci Islam, Mesjid Al-Aqsa dan
Qubbat as-Sakhrah, atau disebut Dome of the Rock dalam bahasa Inggris.
Salah satu bagian tembok yang mengelilingi Haram al-Sharif adalah Tembok
Ratapan yang merupakan tempat tersuci bagi orang Yahudi saat ini. Memang
kompleks itu pada mulanya berasal dari kompleks Bait Allah Israel yang
dibangun kembali oleh Raja Herodes tahun 37 SM setelah dirusak oleh
penguasa Yunani. Lalu pada tahun 638, Kalifah Ummayah merebut Yerusalem
dari tangan Kekaisaran Bizantium, dan tidak lama sesudahnya (685) seluruh
kompleks dirubah menjadi tempat ibadah dan ziarah umat Muslim. Bagi umat
Muslim Dome of the Rock adalah tujuan ziarah (taqdis) yang menyempurnakan
ibadah naik haji karena di tempat ini dipercaya Nabi Muhammad naik ke surga
pada malam Isra' Mi'raj. Posisi unik ini menyebabkan Yerusalem menjadi
tempat tersuci ketiga bagi umat Muslim, setelah Mekah dan Medinah.
    Ada ribuan umat Muslim (orang Arab Palestina dan Arab Israel) yang
beribadah pada hari itu di Haram al-Sharif, sedangkan ribuan umat Yahudi
bersembahyang di Tembok Ratapan (di kaki Haram al-Sharif). Ibadah orang
Yahudi seperti biasa dijaga oleh tentara dan polisi Israel. Lalu, entah
bagaimana disinilah lahir kerusuhan yang berkepanjangan dan meluas sampai
sekarang antara Palestina (didukung oleh negara-negara Arab) dan Israel.
Pihak Muslim menuduh penyebab kerusuhan itu adalah Ariel Sharon, politisi
sayap kanan dan garis keras Israel, yang 'mampir' ke Haram al-Sharif sehari
sebelumnya. Sampai pertengahan abad yang lalu tidak seorang non-Muslimpun
yang diizinkan menginjakkan kakinya ke dalam kompleks ini (ada beberapa
perkecualian tentunya). Dulu ada kepercayaan, jika seorang non-Muslim
berhasil masuk ke kompleks ini, maka jika ia berdoa, doanya pasti diterima
Tuhan, karena itu harus mati-matian dicegah. Meskipun saat ini sudah
diizinkan tetapi pihak otoritas Israel melarang keras orang Yahudi untuk
menunjukkan simbol-simbol keagamaan mereka (misalnya kippah, tutup kepala)
ketika memasuki kompleks ini demi menghindari kemarahan umat Muslim.
Larangan itu telah menyebabkan amat sedikit orang Yahudi yang menginjakkan
kakinya di tempat itu. Jadi kehadiran Ariel Sharon, seorang Yahudi
religius, anti Arab, pahlawan di tiga perang Arab-Israel (Perang Sinai
1956, Perang Enam Hari 1967 dan Perang Yom Kippur 1973), mantan panglima
tentara Israel yang menyerbu Libanon untuk mengusir PLO tahun 1982,
dianggap memancing kemarahan orang Muslim dan Arab pada umumnya. Mungkin
bagi Sharon, sebagai seorang Yahudi religius ia sedang mengunjungi situs
Bait Allah, tetapi bagi orang Arab, ini adalah penghinaan agama. Sebagian
orang lain menganggap kerusuhan itu bukan dipicu oleh kehadiran Sharon,
melainkan kegagalan perundingan Camp David antara Ehud Barak dan Yasir
Arafat di mana Ehud bersedia mengkompromikan posisi Yerusalem Timur
sedangkan Arafat menetapkan harga mati untuk Yerusalem Timur sebagai
ibukota negara Palestina yang akan didirikan. Bagi warga Israel, bahkan
dari kelompok yang moderat sekalipun, keinginan Arafat itu sukar diterima.
    Akibat dari kerusuhan ini jauh di luar dugaan. Di akhir minggu (tepat
dengan hari raya Rosh ha-Shanah yang dirayakan selama dua hari), sediki
tnya   12 orang Palestina  tewas dan ratusan lainnya (termasuk orang
Israel) luka-luka. Ratusan tewas terjadi di minggu-minggu berikutnya
(sampai hari ini sekitar 250 orang tewas dan 7000 luka-luka, kebanyakan
dari pihak Palestina), bom meledak di pasar-pasar Israel, bom bunuh diri,
serangan helikopter tempur Israel ke rumah-rumah Palestina, balas membalas,
dan seterusnya. Belum berhenti hingga hari ini. Situasi ini diperburuk
dengan serangan Hisbullah di Israel Utara dan bangkitnya kelompok-kelompok
garis keras Palestina seperti Hammas dan Jihad, dan bangkitnya
negara-negara Arab mendukung Palestina (juga di antara negara-negara yang
punya hubungan baik dengan Israel seperti Mesir dan Yordania).
    Umat Yahudi menghadapi tahun baru yang sungguh pahit dan mungkin
terburuk sepanjang sejarah Israel modern, termasuk ketika pecah Perang Yom
Kippur 1973 yang terjadi pada tahun baru juga. Sejak awal abad ini, yaitu
dikala gerakan kembalinya orang Yahudi ke tanah Palestina yang dimotori
oleh gerakan Zionis, sudah banyak sekali terjadi konflik antara orang
Yahudi dan Arab. Pada era tahun 1930an (1929 dan 1936), terjadinya berbagai
pembantaian besar di antara mereka. Situasi ini mencapai puncaknya ketika
tanggal 14 Mei 1948, bangsa Yahudi memproklamirkan negara Israel modern.
Sejak itu berbagai konflik dan perang silih berganti terjadi. Sedikitnya
ada empat perang besar antara Israel dan negara-negara Arab di
sekitarnyaitu Perang 1948, Perang Sinai 1956, Perang Enam Hari 1967 dan
Perang Yom Kippur 1973. Selama masa-masa itu, upaya-upaya perdamaian melulu
menyangkut masalah politik-militer, yaitu soal pengembalian wilayah yang
berhasil dikuasai Israel. Barulah setelah tahun 1973 ada upaya-upaya yang
lebih sungguh-sungguh untuk memperbaiki keadaan. Era 70an ini ditutup
dengan peristiwa perdamaian yang mengejutkan dengan berjabat tangannya
antara PM Israel Menachem Begin dan Presiden Mesir Anwar Sadat tahun 1979
di Camp David. Upaya-upaya berikutnya masih sangat jauh dari harapan dan
membutuhkan waktu 14 tahun untuk tiba pada jabat tangan damai berikutnya.
Persetujuan Oslo 1993 dan dilanjutkan dengan jabat tangan antara Yitzhak
Rabin dan Yasir Arafat di hadapan Bill Clinton di Washington, membangkitkan
harapan baru atas kemungkinan perdamaian yang lebih sejati di Timur Tengah.
Konflik terakhir ini sungguh-sungguh mengerikan dan mempersempit
kemungkinan perdamaian di antara keduanya. Jika sebelumnya ada keyakinan
bahwa pada akhirnya perdamaian antara keduanya akan terwujud yang ujungnya
terjadi perdamaian menyeluruh di Timur Tengah, maka sekarang harapan itu
hampir pudar.
    Jawaban teoritis sudah banyak diungkapkan orang. Mulai dari yang murni
emosional, politis, hingga yang berbau keagamaan. Bagi kelompok garis keras
Palestina penyelesaiannya sudah jelas : usir Israel dari tanah Palestina
seluruhnya, dirikan negara Palestina merdeka dan jadikan Yerusalem (Timur)
sebagai ibukotanya. Sedangkan penyelesaian politis-diplomatisnya adalah
pertemukan pemimpin kedua bangsa ditambah pemimpin-pemimpin Arab lainnya
untuk membicarakan upaya-upaya perdamaian dan menjadikan Yerusalem sebagai
wilayah internasional bagi ketiga agama Abraham. Sayangnya semua pemimpin
itu sedang dalam posisi yang lemah. Ehud Barak, Perdana Menteri Israel
sedang berada di ujung tanduk dan posisinya sedang diincar partai-partai
kanan pimpinan Benyamin Netanyahu dan Ariel Sharon. Yasir Arafat terpaksa
harus mengakomodir keinginan kelompok garis keras dari partainya sendiri
(Al-Fatah) maupun dari kelompok-kelompok di luar PLO jika tidak ingin
tersingkir dari kepemimpinan Palestina. Negara-negara Arab moderat pun
terpaksa bersikap serupa, misalnya seperti Presiden Mesir, Hosni Mubarrak
yang pemerintahnya baru-baru ini meresmikan penggantian nama sebuah jalan
di depan kedutaan besar Israel di Kairo, menjadi Jalan Mohammed al-Durra,
nama bocah Palestina yang terbunuh dalam konflik. Ia juga sedang menghadapi
masalah dengan semakin kuatnya pengaruh kelompok garis keras di Parlemen
Mesir. Yordania dan Syria, negara-negara tetangga Israel, juga menghadapi
masalah yang sama di mana kedua pemimpin belia negara-negara itu (Raja
Abdullah II dan Bashar As'ad) tidak punya pilihan selain mengikuti
'aspirasi rakyatnya' untuk mengutuk Israel.
    Solusi teoritik keagamaan juga tersedia. Bagi sebagian orang Kristen
(terutama penganut mileniarisme atau kerajaan seribu tahun), peristiwa ini
bisa dianggap sebagai tanda bahwa kedatangan Yesus kedua kalinya sudah
semakin dekat. Kedatangan itu diawali dengan pertempuran bangsa-bangsa di
Yerusalem (Armageddon) dan didirikannya kembali Bait Allah Israel (soal
detil perwujudannya, ada banyak pendapat di kalangan Kristen). Jadi konflik
yang terjadi sekarang diterima sebagai keniscayaan belaka dalam pemenuhan
nubuat Alkitab.
    Skenario yang hampir serupa juga dimiliki beberapa kelompok Yahudi
Ortodoks dan Ultra Ortodoks yang bersikeras untuk segera mendirikan Bait
Allah demi menyongsong kedatangan Mesias Israel. Tidak lama sesudah
berakhirnya Perang Enam Hari 1967 yang memungkinkan Israel menguasai
Yerusalem Timur, Shlomo Goren, seorang perwira Jendral Moshe Dayan, merasa
'mendengar' tapak kedatangan Mesias. Wangsit ini membawanya pada tanggal 16
Agustus 1967, pada hari Tisha B'Av (hari keagamaan dalam memperingati
runtuhnya dua Bait Allah Israel oleh orang Babel dan Romawi), menerobos
masuk Haram al-Sharif bersama pengikutnya, melakukan doa dan upacara
keagamaan serta bermaksud mendirikan sebuah sinagoge di antara tempat suci
Islam (Dome of the Rock dan Mesjid Al-Aqsa).
    Menghadapi dua skenario di atas, kaum Muslim Arabpun dengan semangat
keagamaan yang sama kuatnya berusaha melindungi kepentingan Islam di
seluruh Palestina, Yerusalem Timur, kota tua Yerusalem dan yang terpenting
dari semuanya itu, Haram al-Sharif. Skenario pemecahan persoalan dari sudut
agama bagi mereka adalah dengan menjadikan Yerusalem (Timur) seluruhnya
sebagai kota Muslim dengan mengevakuasi orang Yahudi dan Kristen (Yerusalem
tua sejak dahulu telah dibagi menjadi empat 'kampung', yaitu kampung
Kristen, kampung Muslim, termasuk Haram al-Sharif, kampung Armenia yang
juga Kristen, dan kampung Yahudi).
 Hal yang lebih celaka dan memperuwet situasi adalah seluruh isu di atas
juga menyerap energi sekalian bangsa di dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia yang berada 9000 km dari Israelpun ikut tersedot dalam pertikaian
ini melalui demonstrasi-demonstrasi anti-Israel.
 
Akar Persoalan
 
     Akar dari seluruh konflik ini adalah wilayah Israel modern (Ibr. Eretz
Israel) atau tanah Palestina. Akar dari akar konflik itu adalah kota tua
Yerusalem, yang adalah kota suci bagi tiga agama wahyu, Yudaisme, Kristen,
dan Islam.
    Mengapa tanah Israel dan Yerusalem menjadi pusat pertengkaran politik
dan agama? Nabi Zakaria di masa lampau sudah menubuatkan konflik yang
terjadi atas Yerusalem, "Maka pada waktu itu Aku akan membuat Yerusalem
menjadi batu untuk diangkat bagi segala bangsa. Siapa yang mengangkatnya
pastilah mendapat luka parah. Segala bangsa di bumi akan berkumpul
melawannya." (Zak. 12:3). Apakah dengan demikian apapun yang terjadi nubuat
Alkitab pasti terjadi? Siapakah yang benar dan yang punya hak atas tanah
dan kota itu? Bagaimana memecahkan masalah ini? Apa sih istimewanya tanah
ini sehingga diperebutkan banyak orang?
     Saya mengajak kita semua melihat keseluruhan masalah ini dengan lebih
jernih dan teliti. Sikap-sikap yang dangkal hanya akan merusak pengertian
kita yang sebenarnya. Sangat mudah bagi kita untuk bersikap begitu saja
anti-Israel dan pro-Palestina, sebagaimana yang ditunjukkan banyak orang di
seluruh dunia saat ini, atau sebaliknya pro-Israel dan anti-Palestina.
Apalagi jika sikap-sikap itu diwarnai dengan semangat keagamaan. Untuk
bersikap semacam itu kita tidak perlu berpikir panjang dan mengerti duduk
persoalannya dengan lebih mendalam. Kita harus sadar pula bahwa sikap dan
perasaan kita pada era informasi ini amat dipengaruhi oleh media masa,
sehingga sering kali kita telah membiarkan diri habis-habisan dimanipulasi
olehnya. Tetapi jika kita sungguh-sungguh berusaha mengerti keruwetan
persoalan ini, mungkin sikap kita akan jadi berbeda. Tulisan ini tentunya
sama sekali tidak berani mengatakan bahwa pendapat saya ini yang paling
benar. Sesuai dengan judul di atas, ini hanya sebuah pandangan (Kristen)
dari sekian banyak pandangan yang lain. Para pembaca tidak harus setuju
dengan pendapat saya ini.
     Sebagian dari kompleksitas masalah ini sudah dikemukakan di atas. Saya
akan memulai telaah ini dengan menengok kembali sejarah atas tanah itu
secara ringkas.
     Tanah yang aneh dan jadi rebutan ini luas keseluruhannya, berdasarkan
luas wilayah kedaulatan negara Israel modern, hanya 21.920 km-persegi, atau
seperlima luas pulau Jawa. Penduduknya 5,6 juta jiwa (di Israel), 1 juta di
Jalur Gaza, dan 1.5 juta di Tepi Barat. Di Israel 80% penduduknya Yahudi,
sedangkan di daerah pendudukan 90% Arab Palestina. (Ada perbedaan antara
penduduk Arab Israel dan Arab Palestina. Yang pertama itu adalah orang
Arab, termasuk Arab Palestina yang tinggal tetap di Israel ketika negara
itu berdiri dan akhirnya menjadi warga negara Israel dan mendapat hak-hak
kewarganegaraan seperti ikut pemilu dan mendapat jaminan sosial. Dan yang
kedua adalah Arab Palestina yang tinggal di daerah pendudukan Tepi Barat
dan Jalur Gaza. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan orang Palestina
adalah Arab Palestina di daerah pendudukan).
    Namun demikian Alkitab mencatat tanah itu sebagai "... tanah yang
permai di antara semua negeri" (Yeh. 20:6). Apanya yang permai? Sebelum
sejarah Israel modern, tanah ini tidak lebih sebagai transit di antara
negeri-negeri besar di dua benua Afrika dan Timur Tengah. Sejak dahulu
kala, jalur sempit ini telah dipakai bagi bangsa Mesir untuk menyerang
negeri Kanaan dan Mesopotamia, bangsa Mesopotamia menyerbu Mesir, bangsa
Persia menjajah Mesir, bangsa Romawi memadamkan pemberontakan Mesir dst.
Palestina tidak lebih sebagai lorong yang menghubungkan dua ruangan besar
dan untuk menguasai salah satunya, orang harus menguasai lorongnya. Menurut
riwayat dua belas pengintai yang ditugaskan Musa untuk memeriksa keadaan
tanah itu pada saat Israel keluar dari Mesir, tanah Palestina ini "...
berlimpah-limpah susu dan madunya." (Bil.13:27). Tetapi ketika Israel
benar-benar mendudukinya, mereka harus berkerja keras dan beberapa kali
mengalami kekeringan dan kesengsaraan. Demikian juga secara ekonomi,
terutama sesudah orang Yahudi terusir dari tanah itu (tahun 70 dan 135),
tanah ini tidak mempunyai nilai ekonomi yang tinggi, sampai kembalinya
orang Yahudi ke Palestina.
     Sebelum negeri ini disebut Palestina, ia dikenal dalam Alkitab dengan
nama Kanaan. Nama Palestina berasal dari nama bangsa yang pernah mendiami
sebagian tanah itu, yaitu bangsa Filistin, sebuah rumpun bangsa Eropa dari
Pulau Kreta (Kaftor) di Laut Tengah di abad ke 12 (lih. Ul. 2:23, Yer.
47:4, Am. 9:7). Pemerintah Romawi (berkuasa di Palestina 62 SM-614 M,
termasuk kekuasaan Romawi Bizantium) di kemudian hari menamai (sebagian)
daerah jajahan Israel sebagai propinsi Yudaea dan kemudian menamainya Syria
Palaistina. Demikianlah sejak saat itu Palestina menjadi nama yang banyak
dikenal daripada nama Israel sendiri.
 
(bersambung)
 
"Sebab segala sesuatu adalah dari Dia, dan oleh Dia, dan kepada Dia:
Bagi Dialah kemuliaan sampai selama-lamanya!" (Roma 11:36)
***********************************************************************
Moderator EskolNet berhak menyeleksi tulisan/artikel yang masuk.
Untuk informasi lebih lanjut, pertanyaan, saran, kritik dan sumbangan
tulisan harap menghubungi [EMAIL PROTECTED]
Bank Danamon Cab. Ambengan Plaza Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc.No. 761.000.000.772
atau
BCA Cab. Darmo Surabaya,
a.n. Martin Setiabudi Acc. No. 088.442.8838
***********************************************************************
Kirimkan E-mail ke [EMAIL PROTECTED] dengan pesan:
subscribe eskolnet-l    ATAU    unsubscribe eskolnet-l

Tidak ada komentar:

Posting Komentar