Senin, 05 Januari 2009

Mengapa kita membela Palestina

Palestina Kota Suci Ummat Islam

''Maha Suci Allah yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam

dari Al-Masjidil Haram ke Al-Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi

sekelilingnya, agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari

tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar

lagi Maha Mengetahui.'' (QS Bani Israil/17:1).

MASJID Al-Aqsha yang disebut juga Baitul Muqaddas adalah tanah suci

ketiga bagi umat Islam setelah Masjid Al-Haram di Mekah dan Masjid

Nabawi di Madinah. Disebut Al-Aqsha karena jarak masjid tersebut

adalah yang paling jauh dari Masjid Haram, tempat kaum muslimin

ditekankan untuk berziarah ke sana mencari karunia dan rahmat-Nya,

serta diberkatinya daerah sekitarnya (Palestina) dengan banyaknya nabi

yang diturunkan di sana dan kesuburan akan tanahnya, serta sifat keberanian

yang dimiliki penduduknya (Mukhtashar Tafsir At-Thabari).

Dalam wahyu-wahyu Al-Qur'an kepada Nabi SAW, sebagian besar ayat-ayat

mengacu kepada Palestina sebagai “tanah suci, yang diberkati.”

Ayat 17:1 menggambarkan tempat ini, yang di dalamnya ada Mesjid Aqsa sebagai tanah “yang Kami berkati disekelilingnya.”

Dalam ayat 21:71, yang menggambarkan keluarnya Nabi Ibrahim dan Luth, tanah yang sama disebut sebagai “tanah yang Kami berkati untuk semua makhluk.”

Pada saat bersamaan, Palestina secara keseluruhan penting artinya bagi umat Islam karena begitu banyak nabi yang hidup dan berjuang demi Allah, mengorbankan hidup mereka, atau meninggal dan dikuburkan di sana.

Oleh karena itu, Rasulullah saw menekankan umat Islam untuk

mengunjungi Masjid Al-Aqsha tersebut sebagai bagian dari ibadah (HR

Bukhari Muslim).

” Tidak dianjurkan melakukan ziarah, kecuali kepada tiga masjid, yaitu masjid Al Haram, masjidku (masjid Nabawi) dan masjid Al Aqsha” (H.R. Muslim)

Jelaslah Masjid Aqsha itu amat penting, karena dia merupakan kiblat yang pertama. Pada waktu masih di Makkah, Nabi bersembahyang menghadap Yerusalem. Tetapi karena tampaknya pada saat yang bersamaan juga ingin menghadap Ka`bah, maka

beliau pilih arah selatan Ka`bah sehingga dengan demikian menghadap

Ka`bah dan Yerusalem sekaligus. Namun, ketika beliau pindah ke Madinah

hal itu tidak bisa dilakukannya lagi, maka terpaksalah beliau

menghadap ke utara (ke Yerusalem) di mana Ka`bah berada di

belakangnya.

Posisi membelakangi Ka`bah ini membuat Nabi tidak merasa tentram. Maka

beliau memohon kepada Allah supaya diizinkan pindah kiblat. Dan doa

Nabi dikabulkan. Maka pindahnya kiblat ke Makkah itu disebabkan doa

Nabi. Kalau saja Nabi tidak berdoa, umat Islam sampai sekarang ini

tetap menghadap Yerusalem. "Kami melihat mukamu menengadah ke langit;

maka akan Kami arahkan engkau ke Kiblat yang kau sukai; arahkanlah

wajahmu ke Masjidil Haram, dan dimana pun kamu berada arahkanlah

wajahmu ke sana." (Q. s. Al-Baqarah [2]:144).

Semenjak pendudukan Zionis Israel yang telah merampas wilayah Palestina pada 1948, hingga detik ini kaum muslimin di seluruh dunia tidak bisa secara bebas dan aman mengunjungi Al-Aqsha, sebagaimana mereka bisa mengunjungi kedua masjid suci lainnya. Hal inilah yang kemudian mengharuskan kaum muslimin untuk

segera membebaskan Tanah Suci Palestina dari cengkeraman penjajahan

Yahudi tersebut.

Ketika khalifah Umar bin Khattab menaklukan Palestina tahun 637,

maka daerah ini berada di bawah kendali kaum Muslimin.

Dalam periode kekuasaan kaum muslimin merupakan masa yang mendatangkan perdamaian dan ketertiban bagi Palestina, yang sebelumnya berabad-abad menjadi tempat perang, pengasingan, penyerangan, dan pembantaian. Apa lagi, setiap kali daerah ini berganti penguasa, seringkali menyaksikan kekejaman baru.

Di bawah pemerintahan muslim, penduduknya, dengan berbagai keyakinan mereka,

hidup bersama dalam damai dan ketertiban.

Dalam periode ini pula , toleransi, kebijaksanaan, dan kebaikan telah ditunjukkan oleh pemerintah Islam kepada penduduk Yerussalem, tanpa membeda-bedakan agama menandai awal dari sebuah zaman baru yang indah.

Seorang pengamat agama terkemuka dari Inggris Karen Armstrong menggambarkan

Saat peristiwa penaklukan Yerusalem oleh Umar dalam bukunya Holy War (perang suci):

Khalifah Umar memasuki Yerusalem dengan mengendarai seekor unta putih,

dikawal oleh pemuka kota tersebut, Uskup Yunani Sofronius. Sang

Khalifah minta agar ia dibawa segera ke Haram asy-Syarif, dan di sana

ia berlutut berdoa di tempat Rasulluah melakukan perjalanan

malamnya (Mi’raj) . Sang uskup melihatnya dengan ketakutan: ini, ia pikir,

pastilah akan menjadi penaklukan penuh kengerian yang pernah

diramalkan oleh Nabi Daniel akan memasuki rumah ibadat tersebut; Ia

pastilah sang Anti Kristus yang akan menandai Hari Kiamat. Kemudian

Umar minta melihat tempat-tempat suci Nasrani, dan ketika ia berada di

Gereja Holy Sepulchre, waktu sholat umat Islam pun tiba. Dengan sopan

sang uskup menyilakannya sholat di tempat ia berada, tapi Umar dengan

sopan pula menolak. Jika ia berdoa dalam gereja, jelasnya, umat Islam

akan mengenang kejadian ini dengan mendirikan sebuah mesjid di sana,

dan ini berarti mereka akan memusnahkan Holy Sepulchre. Justru Umar

pergi sholat di tempat yang sedikit jauh dari gereja tersebut, dan

memang benar perkiraan umar, karena n tempat yang beliau sholati ( yang langsung berhadapan dengan Holy Sepulchre) kemudian didirikan sebuah mesjid kecil yang dipersembahkan untuk Khalifah Umar.

Mesjid besar Umar lainnya didirikan di Haram asy-Syarif untuk menandai

penaklukan oleh umat Islam, bersama dengan mesjid al-Aqsa yang

mengenang perjalanan malam Muhammad. Pada saat itu selama bertahun-tahun umat

Nasrani menggunakan tempat reruntuhan biara Yahudi ini sebagai tempat

pembuangan sampah kota. Sang khalifah membantu umat Islam membersihkan

sampah ini dengan tangannya sendiri dan di sana umat Islam membangun

tempat sucinya sendiri untuk membangun Islam di kota suci ketiga bagi

dunia Islam.9

Pendeknya, umat Islam membawa peradaban bagi Yerusalem dan seluruh

Palestina. Dengan menunjukkan hormat kepada nilai-nilai suci orang lain dan tidak membunuh orang-orang hanya karena mereka mengikuti keyakinan berbeda, budaya Islam yang adil, toleran, dan lemah lembut membawa kedamaian dan ketertiban kepada masyarakat Muslim, Nasrani, dan Yahudi di daerah itu. Umat Islam tidak

pernah memilih untuk memaksakan agama, meskipun beberapa orang

non-Muslim yang melihat bahwa Islam adalah agama sejati lal banyak berpindah agama

dengan bebas menurut keinginannya sendiri.

Perdamaian dan ketertiban ini terus berlanjut sepanjang orang-orang

Islam memerintah di daerah ini. Akan tetapi, di akhir abad kesebelas,

kekuatan penakluk lain dari Eropa memasuki daerah ini dan merampas

tanah beradab Yerusalem dengan tindakan tak berperikemanusiaan dan

kekejaman yang belum pernah terlihat sebelumnya. Para penyerang ini

adalah Tentara Perang Salib.

Klaim Israel atas Palestina

Israel mendasarkan klaim-klaimnya untuk mendirikan sebuah negara di Palestina atas tiga sumber utama: warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil,1 Deklarasi Balfour yang diumumkan Inggris Raya pada 1917, dan pembagian Palestina menjadi negara Arab dan negara Yahudi yang direkomendasikan oleh Majelis Umum PBB pada 1947.

Israel memunyai tiga alasan utama mengapa mereka mendirikan

negara di Palestina, mengapa tidak di tempat lain saja (Paul Findley:

1995 dalam Masa Depan Palestina, Nuim Hidayat). Alasan pertama adalah

warisan Perjanjian Lama dari Kitab Injil, seperti disebutkan dalam

Kitab Kejadian 15:18, ''Pada hari itu Tuhan membuat perjanjian dengan

Ibrahim melalui firman ‘Untuk keturunanmu Aku berikan tanah ini, dari

Sungai Mesir hingga Sungai Besar, Sungai Efrat.''

Dengan berdasarkan ayat dari Kitab kejadian orang Israel menganggap sebagai suatu restu dari Tuhan terhadap kepemilikan tanah di Palestina

Padahal para ahli Injil seperti Dr. Dewey Beegle dari Wesley Theological Seminary menyatakan bahwa bangsa Yahudi kuno tidak berhak lagi atas janji tersebut karena tidak berhasil mematuhi perintah-perintah Tuhan dan karenanya kehilangan janji itu.10

Juga tidak ada pengadilan atau badan dunia di masa sekarang ini yang akan menganggap sah suatu hak pemilikan yang didasarkan atas klaim yang dinyatakan berasal dari Tuhan.9 Bahkan bagi mereka yang mengartikan restu Injil secara harfiah sebagai restu dari Tuhan,

Alasan kedua adalah lahirnya Deklarasi Balfour yang dikeluarkan oleh

Inggris Raya pada 1917, saat itu wilayah Palestina berada di bawah

penjajahan Inggris sebagai akibat Perang Dunia I (1914-1918).

Deklarasi tersebut telah memberikan jalan bagi Israel memasuki Tanah

Suci Palestina secara 'legal' dan massive. Klaim Yahudi atas Tanah

Suci tersebut memang telah dipersiapkan secara matang oleh Theodore

Herzl (1860-1904), di mana doktrin-doktrin pewajiban berdirinya negara

Yahudi itu telah disusun secara sistematis dalam buku Der Judenstaat

yang telah diresmikan dalam Kongres Zionis Dunia di Basle pada 1897.

(Roger Garaudy, 1988, ibid). Sebagian isi Deklarasi Balfour itu

menyatakan 'Pemerintah (Inggris) menyetujui didirikannya sebuah tanah

air bagi bangsa Yahudi di Palestina dan berusaha sebaik-baiknya untuk

melancarkan pencapaian tujuan ini ....'' (ibid).

Alasan ketiga adalah resolusi PBB Nomor 181 Tahun 29 November 1947

yang dikeluarkan sebelum proklamasi kemerdekaan Israel pada 1948.

Resolusi tersebut lahir atas prakarsa Presiden AS, Truman, yang isinya

menyebutkan pembagian negara-negara Arab dan Yahudi yang merdeka dan

rezim internasional istimewa untuk Kota Jerussalem. Selanjutnya, PBB

akan memberikan 57% tanah Palestina kepada Israel. (ibid). Dampak dari

resolusi tersebut adalah melonjaknya sejumlah warga Yahudi di

Palestina, dari semula sekitar 56 ribu orang (1917) menjadi sekitar

608.225 orang (1947), sedangkan menurut majalah Time edisi 25 Maret

2002, warga Yahudi kini berjumlah sekitar 6,1 juta, sementara warga

Arab berjumlah sekitar 3,3 juta orang.

Kesimpulan

  1. Bahwa Palestina memiliki nilai historis dan nilai religious bagi ummat Islam karena merupakan kota suci tempat lahir para nabi, kiblat pertatama ummat Islam, tempat mi’rajnya Rasulullah Muhammad S.A.W.

  1. Bahwa Palestina negeri berpenduduk muslim yang terzalimi, untuk itu sebagai sesama ummat Islam yang memiliki ukhuwah Islamiyah maka kewajiban ummat Islam untuk menolong saudaranya yang kesusahan apalagi terzalimi,

"Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat." (Al-Hujuraat: 10).

Rasulullah saw bersabda: "Sesama muslim itu bersaudara. Oleh karena itu, jangan menganiaya dan jangan mendiamkan. Siapa saja yang memperhatikan kepentingan saudaranya, Allah akan memperhatikannya. Siapa saja yang melapangkan satu kesulitan sesama muslim, niscaya Allah akan melapangkan satu kesulitan dari beberapa kesulitannya pada hari kiamat. Siapa saja yang menutupi kejelakan seorang muslim Allah akan menutupi kejelekannya pada hari kiamat." (HR.Bukhari dan Muslim)

Rasulullah saw., "Permisalan orang mukmin dalam mereka saling mencintai, saling mengasihi, dan saling menaruh simpati adalah laksana satu tubuh, yang jika salah satu dari anggota tubuh merasa sakit, seluruh anggota tubuh lainnya turut merasakan dampaknya dengan panas atau tidak bisa tidur." (HR Bukhari dan Muslim ).

  1. Bahwa apa yang terjadi pada saat ini adalah satu bentuk kemungkaran, ketidak adailan, penindasan suatu bangsa terhadap bangsa lainnya, oleh karena itu sebagaimana kewajiban seitiap Muslim untuk bereaksi terhadap setiap tindakan kemunkaran karena kekhawatiran bahwa dampak azab perbuatan mungkar tidak saja berakibat pada yang melakukannya tapi juga kepada yang mengetahui tapi mendiamkannya (tidak menolak minimal dalam hati kecilnya)

"Dan orang-orang beriman, lelaki dan wanita, sebagian mereka (adalah)

menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh

(mengerjakan) yang ma'ruf dan melarang dari yang munkar dan mereka

taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh

Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana."

(At-Taubah: 71)

"Kamu adalah ummat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia,

menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar, dan beriman

kepada Allah." (Ali Imran: 110)

"Barangsiapa melihat kemunkaran, maka hendaklah dia mengubah dengan

tangannya, jika tidak mampu, maka hendaklah dengan lidahnya, dan jika tidak

mampu juga, maka hendaklah dengan hatinya, dan yang demikian itu adalah

selemah-lemah iman." (HR. Muslim)

Rasulullah juga bersabda:

"Sesungguhnya manusia itu apabila melihat orang yang zhalim, lalu

mereka tidak memegang kedua tangannya (mencegahnya) maka Allah akan

meratakan siksa dari sisi-Nya." (HR. Abu Dawud, Tirmidzi dan Nasa'i)

Allah SWT berfirman:

"Telah dilaknat orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Dawud

dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkari mereka durhaka

dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak

melarang tindakan mungkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat

buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu." (Al Maidah: 78-79)

  1. Bentuk perhatian, simpati, bantuan moril dan materil , aksi penolakan terhadap kezaliman yang terjadi di Palestina merupakan manifestasi suatu doa bukan saja diperuntukan rakyat Palestina tapi bagi bangsa kita dan ummat Islam Indonesia khususnya agar hal tersebut tidak menimpa atau terjadi dinegeri kita.

"Dan peliharalah dirimu dari siksaan yang tidak khusus menimpa

orang-orang yang zhalim saja di antara kalian. Dan ketahuilah bahwa

Allah amat keras siksaan-Nya." (Al Anfal: 25)

Demikianlah yang dapat saya sampaikan, lebih kurang mohon maaf

Wabillahi taufiq wal hidayah

Wassalamu’alaykum warahmatullahi wabarakatuh

Arnoldison

Sumber rujukan

1. Fauzan Al-Anshari , Membela Palestina dalam Perspektif Syariah,

http://www.pesantrenonline.com/artikel/detailartikel.php3?artikel=149

2. Harun Yahya , Palestina Muslim,

3. Nurcholish Madjid, Sejarah Kota Suci Tiga Agama,

4. Paul Findley (mantan anggota Kongres AS), Diplomasi Munafik ala Yahudi – Mengungkap Fakta Hubungan AS-Israel

5. Dr. Yusuf Qardhawi Sistem ,Masyarakat Islam dalam Al Qur'an & Sunnah (Malaamihu Al Mujtama' Al Muslim Alladzi Nasyuduh)

6. Wikipedia Indonesia, Deklarasi Balfour 1917,

7. Buletin Studia 18 Mei 2005, Al-Aqsha, Palestina, dan Kita,

SEJARAH YAHUDI

Seperti telah ditunjukkan di awal, semua tanah Palestina, khususnya Yerusalem, adalah suci untuk orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Muslim. Alasannya adalah karena sebagian besar nabi-nabi Allah yang diutus untuk memperingatkan manusia menghabiskan sebagian atau seluruh kehidupannya di tanah ini.

Menurut studi sejarah yang didasarkan atas penggalian arkeologi dan lembaran-lembaran kitab suci, Nabi Ibrahim, putranya, dan sejumlah kecil manusia yang mengikutinya pertama kali pindah ke Palestina, yang dikenal kemudian sebagai Kanaan, pada abad kesembilan belas sebelum Masehi. Tafsir Al-Qur'an menunjukkan bahwa Ibrahim (Abraham) AS, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (Lot). Al-Qur'an menyebutkan perpindahan ini sebagai berikut:

Kami berfirman: "Hai api menjadi dinginlah, dan menjadi keselamatanlah bagi Ibrahim", mereka hendak berbuat makar terhadap Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling merugi. Dan Kami seIamatkan Ibrahim dan Luth ke sebuah negeri yang Kami telah memberkahinya untuk sekalian manusia. (Qur'an, 21:69-71)

Daerah ini, yang digambarkan sebagai “tanah yang telah Kami berkati,” diterangkan dalam berbagai keterangan Al-Qur'an yang mengacu kepada tanah Palestina.

Sebelum Ibrahim AS, bangsa Kanaan (Palestina) tadinya adalah penyembah berhala. Ibrahim meyakinkan mereka untuk meninggalkan kekafirannya dan mengakui satu Tuhan. Menurut sumber-sumber sejarah, beliau mendirikan rumah untuk istrinya Hajar dan putranya Isma’il (Ishmael) di Mekah dan sekitarnya, sementara istrinya yang lain Sarah, dan putra keduanya Ishaq (Isaac) tetap di Kanaan. Seperti itu pulalah, Al-Qur'an menyebutkan bahwa Nabi Ibrahim mendirikan rumah untuk beberapa putranya di sekitar Baitul Haram, yang menurut penjelasan Al-Qur'an bertempat di lembah Mekah.

Ya Tuhan kami, sesungguhnya aku telah menempatkan sebahagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati, ya Tuhan kami (yang demikian itu) agar mereka mendirikan shalat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan beri rezkilah mereka dari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (Qur'an, 14:37)

Akan tetapi, putra Ishaq Ya’kub (Jacob) pindah ke Mesir selama putranya Yusuf (Joseph) diberi tugas kenegaraan. (Putra-putra Ya’kub juga dikenang sebagai “Bani Israil.”) Setelah dibebaskannya Yusuf dari penjara dan penunjukan dirinya sebagai kepala bendahara Mesir, Bani Israel hidup dengan damai dan aman di Mesir.

Suatu kali, keadaan mereka berubah setelah berlalunya waktu, dan Firaun memperlakukan mereka dengan kekejaman yang dahsyat. Allah menjadikan Musa (Moses) nabi-Nya selama masa itu, dan memerintahkannya untuk membawa mereka keluar dari Mesir. Ia pergi ke Firaun, memintanya untuk meninggalkan keyakinan kafirnya dan menyerahkan diri kepada Allah, dan membebaskan Bani Israil yang disebut juga orang-orang Israel. Namun Firaun seorang tiran yang kejam dan bengis. Ia memperbudak Bani Israil, mempekerjakan mereka hingga hampir mati, dan kemudian memerintahkan dibunuhnya anak-anak lelaki. Meneruskan kekejamannya, ia memberi tanggapan penuh kebencian kepada Musa. Untuk mencegah pengikut-pengikutnya, yang sebenarnya adalah tukang-tukang sihirnya dari mempercayai Musa, ia mengancam memenggal tangan dan kakinya secara bersilangan.


Menyusul wafatnya Nabi Yusuf (Joseph), Bani Israel mengalami kekejaman tak terperikan di tangan Firaun.

Meskipun Firaun menolak permintaannya, Musa AS dan kaumnya meninggalkan Mesir, dengan pertolongan mukjizat Allah, sekitar tahun 1250 SM. Mereka tinggal di Semenanjung Sinai dan timur Kanaan. Dalam Al-Qur'an, Musa memerintahkan Bani Israil untuk memasuki Kanaan:

Hai kaumku, masuklah ke tanah suci (Palestina) yang telah ditentukan Allah bagimu, dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh), maka kamu menjadi orang-orang yang merugi. (Qur'an, 5:21)

Setelah Musa AS, bangsa Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan berpengaruh. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di selatan hingga sungai Eufrat di negara Siria sekarang di utara. Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israil meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.

Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu'min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Qur'an, 48:26)

Karena kemerosotan akhlaknya, kerajaan Israel mulai memudar dan ditempati oleh berbagai orang-orang penyembah berhala, dan bangsa Israel, yang juga dikenal sebagai Yahudi pada saat itu, diperbudak kembali. Ketika Palestina dikuasai oleh Kerajaaan Romawi, Nabi ‘Isa (Jesus) AS datang dan sekali lagi mengajak Bani Israel untuk meninggalkan kesombongannya, takhayulnya, dan pengkhianatannya, dan hidup menurut agama Allah. Sangat sedikit orang Yahudi yang meyakininya; sebagian besar Bani Israel mengingkarinya. Dan, seperti disebutkan Al-Qur'an, mereka itu yang: ": telah dila'nati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (Al-Qur'an, 5:78) Setelah berlalunya waktu, Allah mempertemukan orang-orang Yahudi dengan bangsa Romawi, yang mengusir mereka semua keluar dari Palestina.

Tujuan penjelasan yang panjang lebar ini adalah untuk menunjukkan bahwa pendapat dasar Zionis bahwa “Palestina adalah tanah Allah yang dijanjikan untuk orang-orang Yahudi” tidaklah benar. Pokok permasalahan ini akan dibahas secara lebih rinci dalam bab tentang Zionisme.

Zionisme menerjemahkan pandangan tentang “orang-orang terpilih” dan “tanah terjanji” dari sudut pandang kebangsaannya. Menurut pernyataan ini, setiap orang yang berasal dari Yahudi itu “terpilih” dan memiliki “tanah terjanji.” Padahal, ras tidak ada nilainya dalam pandangan Allah, karena yang penting adalah ketakwaan dan keimanan seseorang. Dalam pandangan Allah, orang-orang terpilih adalah orang-orang yang tetap mengikuti agama Ibrahim, tanpa memandang rasnya.

Al-Qur'an juga menekankan kenyataan ini. Allah menyatakan bahwa warisan Ibrahim bukanlah orang-orang Yahudi yang bangga sebagai “anak-anak Ibrahim,” melainkan orang-orang Islam yang hidup menurut agama ini:

Sesungguhnya orang yang paling dekat kepada Ibrahim ialah orang-orang yang mengikutinya dan Nabi ini (Muhammad), beserta orang-orang yang beriman (kepada Muhammad), dan Allah adalah Pelindung semua orang-orang yang beriman. (Qur'an, 3:68)

THE MUSLIM OBSERVER, September 2001

W. REPORT, Juli 96
Sementara umat Yahudi yang menentang Zionisme secara terbuka menentang pemerintah Israel, Yahudi fanatik berpandangan: “Tanah Terjanji adalah untuk Orang Terpilih. Selamanya. Kekal. Abadi.” Di sampul luar Washington Report on Middle East Affairs, Yahudi fanatik digambarkan membawa spanduk dengan semboyan ini. Karena pandangan keliru seperti ini, mereka bertindak kejam atas tahanan penduduk Palestina Kristen maupun Islam.

YAHUDI MELAWAN TERORISME ISRAEL

Situs ini tidaklah menentang dan mengkritik Yudaisme atau Yahudi, melainkan ideologi rasis Zionis dan pemeluknya. Semua tragedi yang telah terjadi, dan terus terjadi di Palestina dapat dilacak dari penerapan ideologi Zionis oleh pemimpin-pemimpinnya. Adalah Zionisme yang menyebabkan tentara Israel menembakkan roket ke arah anak-anak yang tengah bermain di lapangan sekolah; memberondongkan peluru kepada wanita-wanita yang tengah memanen tanamannya di kebun-kebun; dan melakukan penganiayaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap keseharian kehidupan Palestina.



Penulis Israel
Shahak melakukan pendekatan sejarah Yahudi
berdasarkan sudut pandang berbeda
dalam karya
klasiknya:
"Jewish History,
Jewish Religion,
and the Weight of Three Thousand
Years"
(Sejarah Yahudi,
Agama Yahudi,
dan Dampak Tiga Ribu Tahun).

Di seluruh dunia hari ini, ada beberapa cendekiawan, politisi, dan sejarawan yang menentang Zionisme. Beberapa pemikir dan penulis Nasrani dan Yahudi mengutuknya berikut kebijakan Zionis pemerintahan Israel, seperti halnya berbagai akademisi di universitas-universitas Israel seperti mendiang Israel Shahak atau Benjamin Beit-Hallahmi, yang mengkritik kekerasan Israel terhadap Palestina dan yang menyatakan bahwa perdamaian hanya bisa dicapai jika Israel menyingkirkan ideologi Zionisnya. Noam Chomsky, yang juga seorang Yahudi, telah menulis banyak buku dan artikel yang sangat kritis terhadap Zionisme dan kebijakan negara-negara yang mendukungnya.

Suatu kalangan akademisi Yahudi, kelompok yang menamakan dirinya “para sejarawan baru,” telah membongkar “kebohongan suci” yang ditanamkan ke dalam kebijakan resmi Israel, serta kebenaran yang berhubungan dengannya, semenjak awal 1980an. Para anggotanya, yakni Benny Morris, Ilan Pappe, Avi Shlaim, Tom Segev, Baruch Kimmerling, Simha Flappan, dan Joel Miqdal, menyerang reaksi kuat dari orang-orang Yahudi yang menganut paham Zionis. Mereka mempertanyakan “kebohongan suci” berikut ini: Ras orang-orang Arab lebih rendah dari Yahudi, Israel adalah sebuah negara kecil yang mencoba bertahan di suatu daerah yang dikelilingi oleh musuh-musuh, semua orang Palestina adalah teroris yang ingin menghancurkan Israel, dan teroris-teroris gila ini pantas menerima balas dendam. Tom Segev, misalnya, salah satu anggota paling penting dari “sejarawan baru” ini, mengemukakan hal berikut ini mengenai sejarah “resmi” Israel: “Hampir hingga sekarang, kita tidak mempunyai sejarah negara ini yang sebenarnya, selain mitos."2 Kritik yang jujur ini, yang dulu hanya pernah disuarakan oleh akademisi dan cendekiawan Muslim, sekarang dinyatakan lebih keras oleh banyak orang-orang Yahudi dan akademisi Kristen yang mencoba menilai kembali sejarah dengan sudut pandang yang tidak dipengaruhi oleh kepentingan.

Orang-orang ini, yang telah menyaksikan kebiadaban Zionis, melihatnya sebagai bentuk lain ideologi penjajahan yang didirikan dalam rasisme abad kesembilan belas. Mereka tidak punya bukti apa pun untuk mitos bahwa Israel adalah “suatu negara kecil dan sendirian menghadapi kepungan musuh-musuh yang ingin menghancurkannya.” Sebaliknya, Israel, melalui aksi-aksinya, terbukti menjadi suatu negara kekerasan yang menganut kebijakan penindasan dan penyerangan.

Gideon Levy, seorang penulis untuk surat kabar Israel Ha’aretz, membenarkan terbukanya rahasia “kebohongan suci’ ini dalam kajiannya terhadap buku Benny Morris Correcting a Mistake: Jews and Arabs in Palestine/Israel, 1936-1956. Setelah membaca perincian teror Zionis yang digambarkan dalam buku ini, dan ditelaah melalui bukti-bukti saksi mata dan catatan-catatan rahasia, Levy menulis:


Sebagian besar anak-anak Israel mulai belajar ideologi Zionis pada usia amat muda. Penafsiran rasis ideologi ini memiliki dampak yang amat negatif atas mereka.

Oh, betapa mulianya perbuatan kita (sehingga kita melakukan begitu banyak hal-hal buruk). Kita begitu hebat (sehingga menyebabkan begitu banyak ketidakadilan). Kita begitu cantik (sehingga tindakan-tindakan kita menyebabkan begitu banyak kebodohan). Dan oh, kita begitu tak berdosa dan menyebarluaskan begitu banyak kebohongan, kebohongan dan penyimpangan kebenaran yang kita katakan pada diri sendiri dan seluruh dunia. Kita, yang dilahirkan belakangan, tidak diberi tahu tentang seluruh kebenaran; mereka hanya mengajarkan kita bagian-bagian baiknya saja, yang dibesar-besarkan. Namun, pada akhirnya, muncullah bagian kelam yang tidak pernah kita dengar sebelumnya.3

Israel Shahak, seorang profesor kimia Yahudi kelahiran Polandia, yang menghabiskan 40 tahunnya di Israel dan meninggal di tahun 2001, mengkritik kebijakan anti hak azazi manusia Zionis Israel. Dalam bukunya Jewish History, Jewish Religion, and the Weight of Three Thousand Years, Shahak menggambarkan besarnya ancaman Zionisme terhadap kemanusiaan:

Dalam pandangan saya, Israel sebagai sebuah negara Yahudi menciptakan bahaya tidak hanya bagi dirinya sendiri dan penduduknya, melainkan juga untuk semua orang Yahudi dan semua orang-orang lain dan negara-negara di Timur Tengah serta di luarnya.4

Ilan Pappe, yang menyebut dirinya “Saya adalah orang Israel yang paling dibenci di Israel,” adalah seorang akademisi Yahudi terkenal yang berbagi pandangannya dengan kelompok sejarawan baru. Ketika ditanya dalam sebuah wawancara mengapa Israel tak mampu mengakui kekejaman yang ia lakukan di Palestina, jawaban yang diberikannya sangat mengejutkan:

Inilah buah dari sebuah proses panjang pengajaran paham yang dimulai dari taman kanak-kanak, yang melibatkan semua anak-anak lelaki dan perempuan Yahudi sepanjang kehidupan mereka. Anda tidak dapat menumbangkan sebuah sikap yang ditanamkan di sana dengan sebuah mesin indoktrinasi yang kuat, yang menciptakan sebuah persepsi rasis tentang orang lain, yang digambarkan sebagai primitif, hampir tidak pernah ada, penuh kebencian -- Orang itu memang penuh kebencian, tapi penjelasan yang diberikan di sini adalah ia terlahir primitif, Islam, anti-Semit, bukan bahwa ia adalah seseorang yang telah merampas tanahnya.5

Akan tetapi, para pemikir, ahli strategi, dan penulis ini punya lebih banyak lagi kesamaan pandangan dibanding sekedar penentangan mereka terhadap Zionisme. Ciri kesamaan terpenting antara mereka adalah bahwa masing-masing mereka telah dituduh menganut anti-Semitisme. Setiap orang yang telah menggunakan fakta-fakta dan dokumen sejarah tentang kejadian yang terjadi di Palestina dan kemudian menulis sebuah artikel atau buku yang mengkritik Zionisme telah dituduh sebagai orang-orang anti-Semit. Contoh paling baru adalah saluran televisi Inggris BBC. Anggota-anggota krunya yang mempersiapkan sebuah dokumenter tentang pembantaian tahun 1982 di kamp pengungsian Sabra dan Shatilla, juga pemimpin stasiun yang menyiarkannya, dituduh sebagai anti-Semit oleh pemerintah Israel.

Ini sesungguhnya adalah sebuah teknik yang digunakan oleh para Zionis dan pro-Zionis untuk memfitnah dan menetralkan orang-orang yang mengkritik Zionisme. Para Zionis bahkan telah menciptakan sebuah istilah untuk memfitnah orang-orang Yahudi seperti itu: “orang Yahudi yang membenci dirinya sendiri.” Istilah ini juga digunakan untuk menggambarkan orang-orang Yahudi yang mengkritik Israel, yang bertujuan untuk mencitrakan mereka sebagai para pemberontak yang menderita karena dilema kejiwaan. Para Zionis yang membuat pernyataan semacam itu, tak disangkal lagi, berusaha mengacaukan hasil pekerjaan para penentangnya.

Kenyataannya, tuduhan berdasarkan ras seperti ini, khususnya ketika ditimpakan kepada orang Islam, adalah tidak berdasar dan tak masuk akal, karena tidak ada orang Islam, karena keimanannya, bisa menganut pemikiran atau sudut pandang rasis yang bagaimanapun juga. Dan memang, ini diciptakan oleh sejarah. Dunia Islam tidak pernah mengalami apa pun seperti praktek-praktek kecurigaan bangsa Eropa di abad pertengahan, yang menumbuhkan fanatisme agama, dan semakin berjangkitnya anti-Semitisme di tahun-tahun belakangan (yang dilahirkan oleh keyakinan rasis) di Uni Sovyet, Eropa Timur, dan Nazi Jerman. Bentrokan antara orang Yahudi dan Muslim di Timur Tengah, yang berlanjut hingga hari ini, akibat keterikatan beberapa orang Yahudi kepada ideologi Zionisme yang rasis dan anti agama, bukanlah tindakan orang-orang Islam.

Tentara Israel yang Menolak Bertugas di Daerah Pendudukan

Setelah perang 1967, Yeshayahu Leibowitz, salah satu cendekiawan terkemuka Israel, memperingatkan bahwa Israel harus menarik diri dari Daerah Pendudukan untuk menghentikan pertumpahan darah. Ia menulis bahwa satu-satunya jalan untuk menghindarkan pengrusakan orang-orang Israel adalah jika 500 tentara yang bertugas di Daerah Pendudukan berani berkata “kami tidak ingin bertugas di sini” dan menarik diri.6

Pada hari ketika Intifadah al-Aqsa (dimulai pada September 2000) dan balas dendam orang-orang Israel semakin dan semakin keras, sekelompok tentara Israel bertindak atas rencana sendiri. Pada pertengahan Januari 2002, sekitar 25 tentara menandatangani sebuah surat terbuka kepada media Israel yang menyebutkan bahwa mereka menolak bertugas di Daerah-daerah Pendudukan. Penolakan ini bukannya tidak pernah terjadi sebelumnya, karena selama penyerbuan Libanon 1982, sekelompok kecil tentara telah menolak bertugas untuk angkatan bersenjata Israel, dengan mengatakan bahwa mereka tidak ingin menjadi bagian dari pemusnahan bangsa yang dilakukan atas orang-orang sipil Libanon. Tindakan tentara-tentara ini, yang kemudian disebut sebagai Yesh Gvul (Ada batas untuk segala sesuatu), diperparah dengan pemenjaraan mereka. Tentara-tentara yang mengumumkan pernyataannya di depan publik pada Januari 2002 tidak menghadapi sanksi hukuman apa pun, dan pada Februari 2002, anggota mereka mencapai 250. Bahkan pada saat ini mereka menerima dukungan besar dari kelompok-kelompok perdamaian, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, pemimpin-pemimpin keagamaan, dan orang-orang Israel serta Palestina kebanyakan.

Di dalam pernyataannya, para tentara berpendapat bahwa angkatan bersenjata Israel telah bertindak brutal dan tak mengenal kasihan kepada kepada orang-orang Palestina di Daerah Pendudukan, bahwa apa yang terjadi di sana telah melecehkan martabat manusia, dan bahwa lebih parah lagi, ini tidak ada hubungannya dengan usaha mempertahankan Israel. Mereka melanjutkan: “Kami tidak akan melanjutkan pertempuran melewati batas negara tahun 1967 untuk menjajah, mengusir, membuat kelaparan, dan menghina seluruh manusia. "

Ariel Shatil, seorang sersan kepala artileri mengingatkan kembali bahwa ketika ada pernyataan menyebutkan orang-orang Palestina menembak pertama kali dan orang-orang Israel hanya membalas, sebenarnya, “Kamilah yang akan memulai tembak menembak dan mereka akan menembak setelahnya.” Dalam sebuah brosur yang mereka persiapkan untuk mengingatkan rekan-rekan mereka yang terus bertugas di daerah ini, para tentara menyatakan:

Ketika Anda mengambil bagian dalam pembunuhan tanpa dasar hukum (“pembubaran,” dalam istilah angkatan bersenjata), ketika Anda mengambil bagian dalam pemusnahan rumah-rumah penduduk, ketika Anda mulai menembaki penduduk sipil tak bersenjata atau rumah-rumah penduduk, ketika Anda menumbangkan kebun-kebun, ketika Anda menghambat aliran makanan atau pengobatan, Anda telah mengambil bagian dalam tindakan yang disebutkan dalam konvensi internasional (seperti Konvensi Jenewa ke-4) dan hukum Israel sebagai kejahatan perang.7

Seorang tentara bernama Asaf Oron, yang telah lama memutuskan untuk tidak bertugas, melaporkan bahwa ia menyaksikan perbuatan amat brutal ketika bertugas di daerah tersebut. Ia menerangkan apa yang ia alami dan apa yang ia lihat sebagai pemecahannya:

Setelah menumpang bis menuju Jalur Gaza, para tentara saling bersaing: cerita “pahlawan” mana dari penaklukan berdarah selama Intifadah ini yang lebih hebat (Mungkin Anda belum tahu: penaklukan ini hakikatnya adalah pembunuhan: penaklukan hingga mati)…

Begitu waktu berlalu, begitu tingkat kegilaan, kebengisan, dan hasutan meningkat, begitu para jenderal mengubah Angkatan Bersenjata Israel menjadi sebuah organisasi teror…. Kemudian saya menemukan bahwa saya tidaklah sendiri…kita semua percaya pada Tuhan… Kita percaya bahwa tidak ada ruang untuk hukum bangsa, jika hukum itu hanya menyamarkan penyembahan berhala, jenis penyembahan berhala yang tidak boleh kita dukung. Mereka yang membiarkan bentuk penyembahan berhala seperti itu akan berakhir dengan membakar diri mereka sendiri.8

Petikan dari Sebuah Surat Terbuka Tentara Israel

Kami, para tentara dan pejabat angkatan perang yang telah bertugas untuk Negara Israel selama berminggu-minggu setiap tahun, meskipun dengan keberanian mengorbankan diri kami sendiri, telah bertugas mempertahankan seluruh Daerah Pendudukan, dan telah diberi perintah dan arahan yang tidak ada hubungannya dengan pengamanan negara kami, dan hanya punya satu tujuan: meneruskan kendali kami atas orang-orang Palestina. Kami, yang punya mata untuk melihat harga berdarah yang dibayarkan untuk Pendudukan ini dari kedua belah pihak.

Kami, yang merasakan bagaimana perintah yang dikeluarkan untuk kami mengenai daerah-daerah ini, menghancurkan seluruh nilai-nilai yang telah kami tanamkan sewaktu dibesarkan di negara ini.

Kami, yang memahami sekarang bahwa harga sebuah Pendudukan adalah hilangnya watak kemanusiaan IDF (Angkatan Bersenjata Israel) dan penyimpangan oleh keseluruhan masyarakat Israel.

Kami yang mengetahui bahwa Daerah-daerah tersebut bukanlah Israel, dan bahwa semua pemukiman akan dikosongkan pada akhirnya.

Kami dengan ini menyatakan bahwa kami tidak akan meneruskan bertempur dalam Perang Pendudukan ini.

Kami tidak akan meneruskan pertempuran melampaui perbatasan tahun 1967 untuk menjajah, mengusir, menimbulkan kelaparan, dan menghina seluruh manusia.

Kami dengan ini menyatakan bahwa kami akan terus bertugas untuk Angkatan Bersenjata Israel dalam segala tugas untuk mempertahankan Israel.

Misi pendudukan dan penindasan tidaklah sejalan dengan tujuan ini, dan kami tidak akan mengambil bagian di dalamnya.

Pandangan Kepala Rabbi Jonathan Sacks tentang Israel

Salah satu kritik yang sangat pedas dari kalangan Yahudi tentang kebijakan Israel datang dari Prof. Jonathan Sacks, Kepala Rabbi Inggris. Dalam sebuah wawancara, yang diterbitkan oleh The Guardian pada 27 Agustus 2002, Sacks dengan keras mengkritik Israel, dengan berpendapat bahwa negara ini tengah bersikap yang “tidak sesuai” dengan pemikiran termurni Yudaisme, dan bahwa pertikaian saat ini dengan warga Palestina “merusak” masyarakat Israel.

Sacks, yang menjadi kepala rabbi Yahudi Ortodoks Inggris pada 1991, dan menjadi pemimpin 280.000 masyarakat Yahudi di negara itu, dikenal sebagai pendukung setia Israel dan merupakan veteran yang bekerja untuk terciptanya perdamaian di negara itu. “Saya menganggap kejadian saat ini sudah tragis. Ini memaksa Israel ke dalam keadaan yang tidak sesuai dalam jangka panjang dengan pandangan (agama) kami” kata Sacks. Ia menambahkan bahwa “berbagai hal telah terjadi setiap hari yang membuat saya merasa sangat tak nyaman sebagai seorang Yahudi.” Ia terus berkata bahwa ia “sangat terguncang” karena berita tentara Israel tersenyum ketika bergambar di depan mayat-mayat orang Palestina yang terbunuh.a

Kritikan sang kepala Rabbi tentang kekejaman Israel atas nama Yudaisme mengingatkan kita akan satu kenyatan penting: Tidak diperkenankan, baik oleh seorang Muslim maupun Yahudi sejati untuk menumpahkan darah yang tak bersalah. Seluruh agama wahyu melarang kekerasan, perang, dan pembunuhan tak berkeadilan, dan memerintahkan perdamaian dan membantu orang yang membutuhkan.

Jonathan Sacks juga mencatat bahwa orang-orang Israel, yang hidup berabad-abad terpencar-pencar, harus sangat memahami kesulitan yang dihadapi orang-orang Palestina:

Anda tidak dapat mengabaikan perintah yang diulangi 36 kali dalam kitab suci: “Kalian terusir untuk mengetahui bagaimana rasanya menjadi orang yang terusir.” Saya berpegang padanya sebagai salah satu inti pegangan yang benar bagi prinsip Yahudi. b

Dalam wawancara yang sama, Sacks juga menjawab pertanyaan tentang pertemuan rahasia yang diadakan pada tahun 2000 dengan Abdullah Javadi-Amoli, salah satu ulama terbesar Iran, dalam suatu konferensi pemimpin keagamaan, dan menariknya, tercatat:

Tak lama kami sudah bisa berbicara dalam bahasa yang sama, karena kami memegang beberapa hal dengan sungguh-sungguh: kami beriman sungguh-sungguh, kami berpegang pada kitab suci sungguh-sungguh. Inilah bahasa yang sama antar orang-orang beriman. c

Pernyataan rabbi Sacks adalah sebuah contoh pembicaraan damai yang harus diadakan antara orang-orang Islam dan Yahudi (dan tentu saja, Kristen). Ketiga keimanan ini memerintahkan keadilan, kejujuran, penyelamatan orang tertindas, dan perdamaian, serta cinta. Pengikut ketiga keimanan ini percaya pada Tuhan, mencintai nabi-nabi yang sama; seharusnya tidak ada permusuhan di antara mereka.

a Jonathan Freedland, "Israel Set On Tragic Path, Says Chief Rabbi", The Guardian, 27 Agustus 2002
b Jonathan Freedland, "Israel Set On Tragic Path, Says Chief Rabbi", The Guardian, 27 Agustus 2002
c Jonathan Freedland, "Israel Set On Tragic Path, Says Chief Rabbi", The Guardian, 27 Agustus 2002



(Atas) Harian Turki - RADIKAL, 18 Februari 2002
PENGKHIATAN DAMAI DI ANGKATAN DARAT
Pemberontakan di kalangan tentara Israel yang menolak untuk pergi ke Daerah Pendudukan tengah meningkat. Keluarga militer yang paling terkenal di negara ini bergabung dengan mereka yang mengatakan, “Pendudukan menghina kami."
Penolakan beberapa tentara Israel untuk bertugas di Daerah Pendudukan disuarakan di media-media Barat. Banyak surat kabar dan majalah melaporkan penolakan mereka. Sementara The Nation mengemukakan masalah ini dalam tajuk utama “An Antiwar Movement Grows in Israel (Gerakan Anti Perang Tumbuh di Israel),” Houston Chronicle memuat perkataan para tentara itu sendiri dalam memberitakannya: “Israeli soldier: My moral objection to occupation (Tentara Israel: Penolakan moral saya terhadap pendudukan)." Dalam situs internet di mana para tentara tersebut telah mulai bersuara agar didengar seluruh masyarakat dunia, mereka menghimbau kaum Yahudi yang tulus untuk menjauhkan diri dari kekerasan dan permusuhan, sebab ini semua dilarang oleh Tuhan. (http://www.seruv.org.il/YahadutEng.asp)


(kiri) Harian Turki - AKIT, 23 Mei 2001
BAHKAN UMAT YAHUDI PUN MENENTANG PENDUDUKAN
Seruan di Israel menentang pemukiman Yahudi lambat laun mulai bertumbuh dan berpengaruh. Jajak pendapat terakhir mengungkap bahwa 61% masyarakat mendukung dihentikannya pembangunan pemukiman. Angka ini adalah 55% dalam jajak pendapat sebelumnya.
Pemukiman melawan hukum yang didirikan di tanah Palestina telah diprotes tidak hanya oleh umat Islam, melainkan juga Kristen dan Yahudi sendiri. Demonstrasi yang disebutkan di atas, serta lainnya, dibubarkan dengan kasar oleh tentara Israel.

Kegiatan tentara Israel dikritik tidak hanya oleh Muslim Palestina, tapi juga oleh Yahudi cinta damai di seluruh dunia, yang sering mengerahkan demonstrasi.

Ghada Karmi: “Saya adalah Arab Palestina. Saya dilahirkan di Yerusalem. Palestina adalah tanah air saya. Tapi saya tidak dapat pulang ke sana." Tempat: Kedutaan Besar Israel, London 1973

Ellen Siegel: “Saya adalah Yahudi Amerika. Saya terlahir di AS. Israel bukan tanah air saya. Tapi saya bisa “pulang” ke sana." Tempat: Kedutaan Besar Israel, London
1992

Pandangan Islam tentang Yahudi

Setiap Muslim memiliki tanggapan nurani dan hukum mengenai praktek teror Zionis atas orang-orang Palestina. Akan tetapi, perlu halnya di sini, seperti dalam segala hal, untuk membela keadilan dan bertindak tanpa prasangka. Setiap Muslim berkewajiban mencegah kekejaman atau perlakuan tak adil atas orang-orang Yahudi yang tak bersalah, apalagi jika mereka menentang Yahudi Zionis.

Anti-Semitisme, seperti halnya segala bentuk rasisme, bertolak belakang dengan akhlak Islam. Orang-orang Islam seharusnya menentang segala bentuk pemusnahan bangsa, penyiksaan, dan kekejaman, dan tidak membeda-bedakan atas dasar agama, ras, atau suku bangsa. Orang-orang Islam seharusnya tidak menyetujui serangan tak berkeadilan yang paling ringan sekali pun, maupun serangan atas ras manapun, bahkan kita harus mengutuknya. Al-Qur'an mengutuk mereka yang menyebarluaskan perpecahan, memperlakukan orang lain dengan kejam, dan membunuh orang-orang tak bersalah. Oleh karena itu, penentangan hukum atas Zionisme tidak boleh diselubungi oleh kebencian kepada orang-orang Yahudi.


Seperti yang kami baca dalam Al-Qur'an, Tuhan memandang suatu keindahan bahwa umat manusia terdiri atas beragam manusia. Namun, ideologi rasis seperti Zionisme mencegah manusia dari berbagai ras, bahasa, dan agama hidup bersama dalam damai.

Pada saat bersamaan, contoh lain rasisme (yakni terhadap orang-orang kulit hitam Afrika) juga merupakan penyimpangan akibat takhayul dan berbagai ideologi di luar agama wahyu Tuhan. Penyimpangan seperti itu mempertahankan berbagai pemikiran dan model sosial yang berlawanan tajam dengan akhlak Al-Qur'an. Akar dari anti-Semitisme adalah rasa benci, kekerasan, dan tak mengenal kasihan. Al-Qur'an, di sisi lain, mengajarkan kerendahan hati, mencintai orang lain, belas kasih, dan cinta kasih. Al-Qur'an memerintahkan orang-orang Islam untuk adil, dan jika perlu, memaafkan bahkan terhadap musuh-musuh mereka: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Al-Qur'an 5:8) Lebih jauh, "barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya412.” (Al-Qur'an 5:32).

Karena itu, pembunuhan bahkan satu orang tak bersalah pun adalah sebuah kejahatan yang tak dapat dikecilkan.

Alasan adanya berbagai ras dan manusia di dunia adalah bukan untuk berselisih atau berperang, melainkan untuk menunjukkan keragaman, yang merupakan keindahan penciptaan Allah dan karunia budaya. Perbedaan jasmani manusia tak ada pentingnya dalam pandangan Allah, dan semua orang Islam sangat mengetahui bahwa satu-satunya kebesaran hanyalah milik Allah. Allah menyatakan kebenaran ini dalam ayat berikut:

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (Qur'an, 49:13)

Karena Al-Qur'an tidak membeda-bedakan ras dan suku bangsa, orang-orang dengan keyakinan berbeda pun diberi hak untuk hidup damai dan aman dalam masyarakat yang sama. Pengajaran dasar Al-Qur'an lainnya adalah bahwa manusia tidak seharusnya dianggap sebagai satu kelompok saja karena mereka terdiri atas suatu ras, manusia, atau agama tertentu. Ada orang-orang baik dan jahat dalam setiap masyarakat; ini adalah sebuah kenyataan yang ditunjukkan oleh Al-Qur'an. Misalnya, setelah menjelaskan bagian tentang Ahli Kitab yang berkhianat kepada Allah dan agama, Allah menerangkan pengecualian berikut ini di dalam Al-Qur'an:

Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus221, mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sembahyang). Mereka beriman kepada Allah dan hari penghabisan, mereka menyuruh kepada yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar dan bersegera kepada (mengerjakan) pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang saleh. Dan apa saja kebajikan yang mereka kerjakan, maka sekali-kali mereka tidak dihalangi (menenerima pahala)nya; dan Allah Maha Mengetahui orang-orang yang bertakwa. (Qur'an, 3:113-115)

Akibatnya, karena kaum Muslimin takut kepada Allah dan mempertimbangkan ketentuan Al-Qur'an, mereka tidak mungkin mengobarkan kebencian terhadap orang-orang Yahudi atas dasar agama. Karena itu, pembahasan kita tentang bentrokan antara Israel dan Palestina akan dilakukan dengan titik tolak ini. Pembahasan ini tidak diarahkan menentang Yahudi atau Yudaisme, melainkan menentang ideologi Zionis yang telah memicu para pemimpin mereka untuk membentuk dan mempertahankan sebuah pemerintahan yang rasis dan keras.

2- Jonathan Mahler, "Uprooting the Past - Israel's New Historians Take a Hard Look at Their Nation's Past," http://www.linguafranca.com/9708/mahler.9708.html.
3- Gideon Levy, Book Review, "Correcting a Mistake - Jews and Arabs in Palestine/Israel, 1936-1956 by Benny Morris," Ha'aretz, November 3, 2000.
4- Israel Shahak, Jewish History, Jewish Religion and the Weight of Three Thousand Years, (AMEU: 1994), hlm. 5.
5- Baudouin Loos, "An Interview of Ilan Pappe," November 29 1999, http://msanews.mynet.net/Scholars/Loos/pappe.html, tanda penegasan ditambahkan
6- Neve Gordon, "An Antiwar Movement Grows in Israel," The Nation, Februari 25, 2002.
7- Neve Gordon, "An Antiwar Movement Grows in Israel," The Nation, Februari 25, 2002.
8- Asaf Oron, "Personal Testimony of an Israeli Refusenik," Z Magazine, http://lists.econ.utah.edu/pipermail/rad-green/2002-February/ 003007.html. tanda penegasan ditambahkan