Sabtu, 05 Maret 2011

UNTUK PARA AKHWAT, BERHATI - HATILAH....

Bekeliaran Bajingan Berkedok Aktivis Partai Keadilan Sejahtera
eramuslim - Orang-orang Partai Keadilan Sejahtera terlalu simbolik. Mereka bangga melihat orang lain mengenakan atribut PK, entah kaos, topi, atau sebuah gantungan kuncipun. Ketika ada seorang pemuda ganteng, rapih, dengan jenggot tip...is di dagu lengkap dengan gantungan kunci PK di tasnya, saya yakin orang PKS pasti menganggap dia minimal simpatisan PKS. Padahal, bisa saja pemuda ganteng itu Nashoro.
Itulah sekelumit perkataan meyakinkan dari mulut Imam yang kudengar di telpon, Ahad 29 Februari lalu. Benar sekali perkataannya, sampai aku tak sadar bahwa kata-kata itu sebenarnya tertuju untuk dirinya. Itulah awal dari musibah yang cukup membuat aku, keluargaku, dan beberapa teman dekatku shock.


Tak ada rasa curiga ketika Ahad malam itu Imam, atau siapa pun dia, menelponku di tempat tinggal kontrakanku di Bogor. Dia menanyakan mengapa aku tidak datang di pernikahan Lia, salah satu teman SMA-ku , juga teman SMA Imam. Hari Sabtu sebelumnya memang seorang teman SMA-ku melangsungkan pernikahan. Sebenarnya aku diundang, tapi dikarenakan ada acara syar’i sekali aku tidak datang. Lagi pula tempatnya jauh, di Bandung. Tetapi, malam harinya aku segera menelpon salah satu temanku yang Sabtu itu datang ke pernikahan Lia. Sebut saja namanya Farhah. Kutanyakan, siapa saja yang datang hari itu. Farhah menjelaskan dia bertemu ini, itu, anu, dan lain-lain yang tak perlu kusebutkan, dan satu lagi, Imam. Dikatakannya, Imam sekarang telah berubah. Dia datang bersama dua orang kawannya, dengan muka mulus, jenggot tipis di dagunya, tutur kata santun, dan satu lagi, rompi cap Partai Keadilan Sejahtera. Padahal, ketika SMA dulu, Imam tidak bisa dikatakan orang baik-baik, meski tidak juga brengsek. Farhah juga menceritakan perihal diriku pada Imam, yang memang telah berubah juga. Aku aktivis PKS. Aktivis tulen, bukan kedok.


Entah mengapa aku menjadi tidak begitu ingat apa yang kubicarakan dengannya malam itu. Dia bercerita banyak hal, maklum dia menelponku dari jam 9.00 sampai 10.30 malam. Dia mengaku bekerja di sebuah yayasan yang cukup dikenal di kalangan orang-orang PKS. Oh,ya, dengan nada sangat angkuh (aku baru merasakan keangkuhannya sekarang, tidak malam itu), bahwa andai saja dia telah sejak dulu berada di tempat kerjanya sekarang, pasti dia dicalonkan menjadi anggota legislatif oleh PKS. Jadi caleg, begitulah kira-kira. Oh, ya?! Berarti dia “ikhwan banget”.
Lama-lama dia menyinggung masalah pernikahan. Dia menanyakan padaku, lelaki macam apa yang kuimpikan menjadi pendampingku. Saat itu aku jawab saja, persyaratanku tidak susah, cukup salimul aqidah, shohihul ibadah, dan matinul khuluq. Imam langsung mencak-mencak, dia mengatakan:
“Kamu pikir aku main-main dalam hal ini. Aku jauh lebih paham daripada kamu, mengenai hal ini. Tidak usah mengajariku.”
Lho, aku jadi merasa tidak enak. Memang sih, dia sempat bercerita, setelah lulus IAIN dia meneruskan ke Madinah, dan belum begitu lama tiba di Indnesia. Maka, obrolan tentang tipe lelaki kucukupkan saja. Kupikir dia akan melamarku atau paling tidak menjajagi ke arah sana. Ternyata tidak. Maksudku, tidak jauh berbeda. Hanya, dia menawarkan padaku seorang lelaki, temannya untuk menjadi suamiku. Temannya adalah seorang ikhwan. Lelaki Idaman Para Ibu dan Akhwat, S1 di UI, S2 dan S3 di Yordan. Namanya Zein. Khatam Qur’an, saat ini bekerja di ANTAM. Sebenarnya sungguh tidak nyambung antara ANTAM dan Yordan, kalau aku cerdas waktu itu. Tapi, Kukatakan saja kalau dia memang serius, dia bisa menghubungi guru ngajiku. Toh, Bogor Cibubur tidak jauh, bisa dilacak. Kukatakan, aku bisa memberikan nama alamat lengkap sampai no HP guru ngajiku itu.


Sungguh mengagetkan ketika Imam mengatakan;
“Please kamu percaya aku. Aku hanya ingin mendapatkan surga dengan cara ini, lain tidak. Tidak usahlah pakai murobi-murobian. Itu bikin lama. Murobi itu hanya 5% penentu pernikahan. Yang penting keduanya, sang lelaki dan wanita, telah sama-sama memiliki niat baik untuk menggenapkan dien. Mengapa sekarang banyak yang telat menikah, itu karena proses dengan murobi membuat semuanya menjadi lambat.”
Gila!!! Gila betul pikiran Imam. Itulah komentar kawanku yang kupercaya mendengar ceritaku, sebelum kusampaikan cerita ini pada guru ngajiku. Temanku menambahkan, caleg kok begitu. Kami sampai bingung memberikan julukan apa untuk pemikiran seperti itu. Tapi, memang kami berdua kadang-kadang punya pemikiran yang juga nyleneh, jadi ketika ada hal yang sangat aneh begitu, kami menaggapinya dengan santai.
Sejak telpon malam itu, Imam lalu rajin menelponku, setiap malam bahkan. Obrolannya pun macam-macam, aku benar-benar tidak ingat. Di antaranya kami membicarakan perihal pendirian Klinik dan Pondok Pesantren di daerah Cibubur. Zein penggagas itu semua. Maklum dia orang kaya banget, relasinya banyak, kata Imam. Imam juga menyuruhku sholat istikhoroh, memantapkan pertemuan pertama dengan orang yang dicalonkannya untukku itu. Rencana kami akan bertemu hari Jum’at, Sabtunya melihat lokasi calon PonPes, dan Minggunya menemui orangtuaku di Cirebon (bukan nama kota sebenarnya).
Aku tidak tahan untuk tidak menceritakan bunga-bunga di hatiku kepada teman dekatku. Aku ceritakan semuanya, semuanya, termasuk harapan-harapanku. Komentar temanku;
“Wah, jadi dong, lu married sebelum Pemilu. Pakai air minum PK Sejahtera, kan! Aku punya julukan baru buatmu, Ratu Minyak”.


Aku hanya tertawa, meskipun dalam hati aku sangat ingin berteriak saking senang dan bangga. Ratu Minyak, infak bulananku banyak, suami ganteng, dan lain-lain, dsb. Yessss!
Aku juga menceritakan perihal rencana hari Jum’at, Sabtu, dan Ahad kepadanya, sebelum kepada guru ngajiku. Juga perihal rencana Zein menitipkan uang 100 juta rupiah, sebagai DP tanah calon PonPes di Cibubur, yang rencananya diberikan pada hari Sabtu. Dia berkomentar;
“Gila lu! Okelah, kamu ngedate hari Jum’at! Tapi untuk jalan berdua hari Sabtu dan Minggu, kamu gila kalau melakukannya. Apa bedanya kamu dengan orang-orang yang pacaran sebelum nikah. Kamu kan baru akan bertemu Jum’at, sudah mau berencana jalan berdua Sabtu Ahad. Kecuali dia ada temannya, kamu ada temanmu. Lagi pula, kamu bilang dia bawa uang 100 juta. Memangnya duit segitu sedikit, banyak tahu! Kalau ada apa-apa di jalan, perampok misalnya, sayang! Sayang duitnya, dan dianya, bukan sayang kamunya!”
Kami lalu tertawa-tawa. Aku tahu dia bercanda. Kami memang kadang-kadang keterlaluan, tapi kami saling sayang, karena masih ada kepentingan yang mengikat kami menjadi kawan. Kami sama-sama “radikal”, rada sedikit nakal. Dia melanjutkan;
“Dari kemarin aku mau bilang, aku tahu kamu tidak bisa hidup miskin. Fresh graduate berstatus pengangguran dengan support dana 600 ribu perbulan di tahun 2002-an, masih bikin kamu kelabakan. Kamu memang bertampang orang kaya. Dan aku yakin, kamu tidak akan sombong kalau kamu kaya. Ok, Girl!”
Lalu kuturuti sarannya untuk menyampaikan rencanaku itu kepada guru ngajiku. Tapi aku tidak mengatakan kalau aku akan pergi hari Sabtu dan Ahad kepada beliau. Dan beliau pun mengatakan, silakan saja kalau mau menemui Zein Jum’at sore. (Maafkan saya, Bu! Andai saya tidak menyimpan sebagian cerita itu pada Ibu, mungkin tidak begini jadinya).


Hari Jum’at aku tidak masuk kantor. Aku lupa apa alasan yang kubuat hari itu. Yang pasti aku akan bertemu Zein nanti, jam 2.00 siang. Kusiapkan gaun tercantikku, lengkap dengan cincin, gelang, sepatu dan tas yang matching dengan bajuku. Tapi ada urusan yang harus kuselesaikan sehingga aku tidak bisa menemuinya pukul 2.00 tepat. HP-ku berdering jam 2.15, lalu kuangkat. Ada suara lelaki di seberang menanyakan:
“Jadi nggak, sih! Aku sudah di KFC dari setengah jam yang lalu”.
“Akh Zein, ya! Afwan, Akhi, ana agak telat, ada urusan penting. Ditunggu saja, ya, Akhi!” ujarku.


Baru pukul 4.00 sore aku sampai di KFC. Yang mana orangnya? Aku celingak-celinguk, sampai akhirnya seorang lelaki yang benar-benar luar biasa di mataku, menyapaku. Oh, Tuhan! Inikah Zein?! Imam, baik banget kamu menawarkan seorang Zein untukku. Postur tegap, nampak sekali dia rajin mengunjungi fitness center, wajah dan kulit putih terawat, mungkin salon, sauna, Johny Andrean, lulur, dan yang begitu-begitu sudah biasa baginya. Ya, iyyalah, dia kan orang kaya. Kaca mata minus berbingkai biru, cakep banget bertengger di atas hidungnya.
Aku tidak membuang-buang waktu untuk segera membicarakan perihal tujuan pertemuan kami. Alamak, dia tidak hanya cakep, wawasan keagamaannya sangat luas, tutur katanya halus lembut, setiap kata adalah mutiara tausiah dari mulutnya. Romantis, puitis, humoris yang cerdas, dan yang jelas perayu kelas kakap.
“Ntar maskawinnya mau yang seperti apa? Bilang aja dari sekarang, jadi saya bisa mulai menyiapkan,” katanya.


“Boleh nggak maskawinnya haji, atau umroh?” tanyaku.
“Untuk wanita sebaik kamu, tidak ada yang tak boleh.”
Dia menambahkan, “Saya akan marah besar, mungkin menjadi musuh seumur hidup dengan Imam, kalau pernikahan ini tidak jadi!”
Dia lalu menitipkan amplop 100 juta rupiah. Aku sudah biasa menerima uang lebih besar dari itu, dan selalu kucek. Namun ketika aku hendak membukanya, dia mencegah;
“Malu, ah, De! Jangan dibuka di sini. Banyak orang!”
Ya deh! Biar kucek di rumah nanti malam.


Lalu kami pergi ke Hoka Hoka Bento, menyusun rencana kepergian besok dan hari Minggu. Di HokBen dia bercerita, dia butuh ATM bank syariah, karena akan ada beberapa donatur yang transfer uang. Sempat terpikir, aku pinjam saja ke tema dekatku, dia punya deposito di salah satu Bank Syariah. Tapi ini Jum’at, pasti dia lembur, atau kalau tidak fitness. Malas, ah, mana HP-ku low bat lagi! (Beruntung kata temanku, ketika kuceritakan kepada temanku perihal keinginanku pinjam ATM syariahnya, dia bilang dia tidak pakai ATM).
Mengapa tidak menggunakan bank konvensional saja? Zein menanyaiku, aku memakai bank apa. Kukatakan aku pakai Lippo dan BCA, silakan saja kalau mau dipakai, karena isinya tak ada. Dia memintaku meminjam ATM BCA atau Mandiri, ke teman-teman kost-ku, yang minimal berisi 500 ribuan-lah. Di kost-ku memang ada beberapa pengguna Mandiri, tapi aku yakin isinya tidak terlampau banyak. Maka aku berinisiatif mengajaknya ke rumah pamanku di Cisalak, beliau pejabat di Mandiri, semua keluarganya ber-ATM Mandiri. Sebenarnya aku pingin jalan saja dengan Zein. Sangat menyenangkan berlama-lama sama dia. Kuutarakan niatku, dan dia setuju. Kami berdua naik taksi ke Cisalak. Zein yang bayar. Dia kan kaya.


Sepanjang perjalanan, banyak sekali hal-hal yang kami bicarakan. Sampai pada ukuran cincin kawin yang pas di jariku. Kuperlihatkan cincin kesayanganku, cantik sekali, kata dia.
Sesampai di Cisalak langsung kuperkenalkan Zein sebagai teman dekatku, calon suamiku. Kuutarakan niat meminjam ATM Mandiri, untuk keperluan transfer dana para donatur Klinik yang akan dibangun Zein. Pamanku percaya, dan menginstruksikan kepada sepupu-sepupuku untuk meminjamkan ATM ke Zein. ATM pamanku tidak lupa.
Setelah itu kami pulang. Aku sudah lupa apa yang kami bicarakan di taksi. Tapi aku senang, senang sekali bisa berlama-lama dengan dia.


Sampai di Bogor pukul 11 malam. Dikatakannya, sebaiknya Zein mengambil uang sekarang, dan besok pagi. ATM punya batas maksimal pengambilan perhari, bukan? Aku iyyakan saja, kuserahkan ke-12 ATM Mandiri di tanganku.
Sebelumnya aku berjanji akan meminta temanku, Asep, untuk bersedia menemaninya, atau menampung di menginap di kost-nya. Maka segera kutelpon Asep, kuminta datang ke ke kostku, untuk menjemput Zein. Begitu Asep datang, aku bergegas “menyerahkan” Zein padanya, aku capek banget. Sepertinya aku demam.


Aku baru ingat HP-ku ada di Zein. Sore hari low bat, mati, dan kubiarkan Zein menyimpannya. Toh besok kita bertemu lagi. Penat banget tubuhku, aku langsung tidur setelah sholat Isya. Baru beberapa detik aku berbaring, HP teman sekamarku berdering, ada namaku di layarnya. Oh, Zein telpon.
“De, ada kamera digital nggak di rumah. Kita perlu buat besok.”
Aku ingat, teman sekamarku punya benda itu. Aku bisa pinjam ke dia. Pasti boleh. Maka kuiyyakan saja. Aku minta izin ke temanku itu, dan memang dia memperbolehkan. Maka benda inventaris kantor temanku itu pun kuserahkan pada Zein.
Pukul 2 dini hari, Zein telpon lagi.


“De, saya hanya bisa mengambil 2 jutaan tiap ATM, saya kembalikan saja, ya malam ini. Saya takut ketinggalan. Saya rada-rada pelupa. Saya ke ruman sekarang, ya!”
Dengan kepala pusing-pusing dan mata ngantuk, kuiyakan saja. Lalu aku siapkan cincin dan gelang di tanagn, kubungkus tissu, dan aku berjalan ke pagar. Sudah ada Zein dan Asep. Kuterima segepok ATM dan kuserahkan bungusan tissuku. Aku kembali ke kamar, lalu tidur lagi.


Aku bangun pagi dengan sangat malas, capek banget badanku. Tapi aku harus bersiap-siap jam 8 pagi, karena jam 9 Zein akan menjemputku ke Cibubur. Jam 7.15 Zein telpon teman sekamarku berdering, ada namaku di layar. Zein bearti. Kuangkat, ada suara Zein;
“Ya, Allah, De! Temanmu begitu amat, sih! Suudzon banget dia ke aku. Orang-orang harokah ternyata suudzonnya gede.”
Aku bingung, “Kenapa Akh Zein? Ada apa dengan temanku? Teamnku yang mana?”
“Dia sms kamu, isinya sangat menyakitkan. Saya kecewa sekali,” jawab Zein. Dia lalu menyebutkan sebuah nama, nama teman dekatku.


Dia langsung menutup telpon. Apa-apan sih temanku. Tidak bisa melihat orang bahagia. Sirik amat! Bilang dong kalau pingin! Aku panik, khawatir Zein marah. Dan sepertinya Zein memang marah. Maka kuminta izin ke teman sekamarku untuk pinjam HP dia. Kutelpon temanku. 2 kali. Tidak dijawab. Ketiga kali, baru diangkat. Langsung kusemprot dia;
“Kamu kirim sms apa ke aku. Kamu jangan kirim sms macam-macam, HP-ku tidak di aku, tapi di cowok itu. Dia marah-marah barusan, gara-gara smsmu. Kamu bilang apa sih, ke dia?”
“Lho, kamu gimana, sih! HP main kasih aja ke orang. Orang baru dikenal lagi. Aku cuman bilang, aku tidak bermaksud suudzon. Barusan terlintas di pikiranku, jangan-jangan Imam itu mencari support dana kampanye dari calon suamimu yang kaya, dengan kamu sebagai imbalannya. Itu doang! Lagian, apa-apaan sih kamu marah-marah begitu?” jawab dia.


“Udah, ah. Ntar aja kujelasin.”
Kututup telpon. Bagaimana nanti sajalah. Biar kujelaskan pada Zein, dia teman dekatku banget, rada-rada sableng orangnya. Lagi pula sudah siang aku harus siap-siap.
Pukul 9.00 Zein belum telpon aku juga. Iseng-iseng kubuka tasku, oh ada amplop 100 juta dari Zein. Kucek, ah!
“Teteh, iyeu naon? Naon iyeu, Teteh? (Mbak, ini apa? Apa ini, Mbak?)” seruku kaget. Kuhambur-hamburkan potongan kertas buram berukuran A4 dibagi 6. Inikah 100 juta itu? Aku tak bisa berkata-kata lagi. Aku langsung istighfar sebanyak-banyaknya, kuambil Al Qur’an, dan aku tilawah.


Tak ada air mata. Tak ada 100 juta. Tak ada telpon dari Zein. Tak ada Imam yang mengaku sekarang sedang pertemuan caleg di DPD Lampung. Imam brengsek. Zein bajingan. Aku dikadalain, dengan sangat mudah. Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah. Sungguh sangat cantik teguran Allah untukku. Aku tak bisa komentar apa-apa. Aku tidak bisa membenci Imam, karena aku pun tak pernah tahu, penelpon yang menghipnotis aku itu Imam atau orang yang mengaku Imam. Juga Zein, bajingan brengsek, aku berterima kasih padanya, dia hanya mempreteli perhiasan, HP, dan kamera, tidak diriku. Cukup Allah yang mengadilimu, karena aku tak tahu siapakah kamu.


Mungkin Zein adalah penipu ulung berwawasan dan berjaringan luas, paham sekali seluk beluk PKS, HT, JT, dan Salafy. Sangat hafal dan lancar menjelaskan isi majalah Saksi terbaru, lembar per lembar. Mungkin juga dia intel, mata-mata, yang nyambi jadi penipu.
Apapun Zein, siapapun Imam, aku tak percaya yang namanya pembicaraan via telpon. Harus ada hitam di atas putih. Ada benda di depan mata. Aku tak percaya dengan wajah mulus, jenggot tipis, atribut PKS, S1, S2, S3, Yordan, ANTAM, bahkan ketika ada seorang akhwat yang mengaku teman dekat mantan murobiku, menawarkan hal yang sama via telpon, aku jawab dalam hati, “tidak akan kugubris kata-kata manismu, karena mungkin kamu juga brengsek dan bajingan, seperti Zein dan Imam.”
Seperti dituturkan korban kepada penulis, tanpa imbuhan, tanpa pengurangan. Hal ini bisa terjadi kepada siapa saja, dengan topeng apa saja, partai, ikatan alumni, dan lain-lain dsb. Mohon berita email ini disebarkan, bukan untuk menjelekkan satu pihak. Korban dan penulis bermaksud sharing, agar kita semua terhindar dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Komentar, kritik, dan pertanyaan silakan dialamatkan ke; nonazhu@yahoo.com

*Redaksi eramuslim telah mengkonfirmasi kebenaran penuturan ini pada si pengirim artikel.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar