Tajuk Republika, 18 Juni 2007, menjelaskan nasib bangsa dan negara Palestina yang semakin tidak jelas arahnya. Pertikaian dua faksi di Palestina, Hamas dan Fatah, telah menyebabkan kondisi bangsa Palestina semakin terpuruk. Mereka terbelah dan terpecah.
Sebuah ironi
Hamas yang memenangkan pemilu parlemen Palestina, Januari 2006, harus menghadapi kenyataan bahwa dewi fortuna (keberuntungan) belum berpihak kepada mereka. Adagium vox populi, vox Dei (suara rakyat, suara Tuhan) tenggelam entah ke mana. Pemerintah Palestina di bawah Hamas, yang semestinya dapat menyuarakan kepentingan rakyat, justru mendapatkan hambatan dari berbagai pihak luar, terutama
Bantuan yang sebelumnya mengalir ke Palestina dihentikan. Selama satu tahun pertama pemerintahannya, Hamas tidak dapat berbuat banyak. Mereka mendapatkan tekanan yang cukup hebat. Mereka sengaja diisolasi, supaya Hamas segera jatuh dari tampuk pemerintahan Palestina.
Suatu skenario penjatuhan pemerintahan Hamas itu diungkapkan oleh
Benar, beberapa kali Abbas mengemukakan tentang perlunya pemilu dini untuk menerobos kebuntuan politik. Anehnya, yang antusias menanggapinya adalah pihak Barat, terutama Inggris dan Amerika. Setelah bertemu dengan Mahmoud Abbas, di Ramallah, 18 Desember 2006, Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, memuji usul Abbas itu dan bahkan Blair mendesak dunia internasional untuk mendukungnya.
Dukungan juga disampaikan Pemerintah Amerika. “Kami mendukung Presiden Abbas yang sedang mencoba menerobos kebuntuan (politik) saat ini dan kami tentu saja berharap langkah-langkah yang dia ambil dapat mengurangi kekerasan,” begitu pernyataan resmi pemerintah Amerika (Kompas, 20 Desember 2006). Abbas juga bertemu Perdana Menteri
Sebaliknya, masyarakat Palestina tidak begitu menanggapi seruan Abbas. Yang terjadi malahan bentrok antara penganut Hamas dan Fatah. Setelah banyak memakan korban, mereka berhasil didamaikan oleh Raja Arab Saudi, Abdullah, di Makkah. Kemudian Hamas dan Fatah membentuk pemerintahan koalisi nasional yang tetap dipimpin oleh Perdana Menteri Palestina, Ismail Haniya, dari Hamas.
Pemerintahan koalisi itu, ternyata tidak mulus berjalan. Amerika, Uni Eropa, dan
Skenario baru
Kondisi terakhir di Palestina itu menimbulkan spekulasi adanya skenario baru untuk membelah Palestina. Tampaknya, Hamas yang sulit dikendalikan oleh Isarel dan Amerika akan diisolasi di Jalur Gaza. Indikasi ini, misalnya, terlihat setelah pelantikan Kabinet Darurat Palestina di bawah Perdana Menteri Salman Fayyad (independen), Ohud Olmert, berjanji membuka peluang baru bagi tercapainya perdamaian. “Peluang baru yang sudah sejak lama tidak kita miliki. Pemerintahan Palestina tanpa Hamas merupakan mitra kami,” kata Olmert (Republika, 18 Juni 2007).
Tetapi, sebaliknya
Isolasi Gaza itu diharapkan akan membangkitkan kemarahan rakyat terhadap Hamas dan menggulingkan pemimpinnya. Tetapi, bila itu tidak berhasil, maka
Pelantikan kabinet baru oleh Presiden Abbas itu tampaknya akan dijadikan alasan adanya pengakuan dunia internasional, bahwa pemerintahan Palestina yang sah berada di bawah Perdana Menteri Salman Fayyad. Dengan demikian, segala urusan yang berkaitan dengan Palestina akan ditangani oleh Fayyad.
Bila skenario itu benar, maka yang akan menjadi korban adalah masyarakat Palestina, terutama mereka yang tinggal di Jalur
Selamatkan rakyat
Semestinya, dunia tidak boleh tinggal diam. Kewajiban masyarakat dunia adalah memberikan bantuan kepada siapa saja yang memerlukannya. Rakyat Palestina perlu bantuan. Mereka telah menjadi korban ulah para elite dan pemimpin dunia yang tidak bertanggung jawab. Saya kira, Liga Arab semestinya segera bertindak untuk mengatasi kemelut politik Palestina itu. Mereka bisa menjadi mediator yang menjembatani kepentingan Hamas dan Fatah.
Usaha yang dilakukan oleh Raja Abdullah dari Arab Saudi beberapa waktu lalu, perlu diulangi lagi. Selain itu, Organisasi Konferensi Islam juga bisa segera bergerak untuk membantu rakyat Palestina. Memang, usaha itu memerlukan kesungguhan dari semua pihak dan tidak semudah apa yang dikatakan.
Ikhtisar
- Barat dan
- Usaha mereka dilakukan dengan memanfaatkan sikap akomodatif Presiden Palestina, Mahmoud Abbas.
- Pembentukan pemerintahan darurat Palestina yang dipimpin Salman Fayyad.
- Liga Arab dan Organisasi Konferensi Islam harus segera bertindak untuk menyelamatkan rakyat Palestina.
Sumber: Harian republika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar