Tarbiyah Dzatiyah adalah sejumlah sarana tarbiyah (pembinaan) yang
diberikan oleh seorang muslim atau muslimah kepada dirinya sendiri untuk
membentuk kepribadian Islami yang sempurna dalam segala aspeknya, baik
ruhiyah, fikriyah, maupun jasadiyah. Dengan demikian, secara singkat tarbiyah dzatiyah bisa diartikan sebagai tarbiyah mandiri.
Urgensi Tarbiyah Dzatiyah
Setidaknya ada 8 Urgensi tarbiyah dzatiyah pada zaman sekarang ini: (1) Menjaga diri mesti didahulukan daripada menjaga orang lain, (2) Jika Anda tidak mentarbiyah diri Anda, siapa yang mentarbiyah Anda?, (3) Hisab kelak bersifat individual, (4) Tarbiyah dzatiyah itu lebih mampu menghasilkan perubahan, (5) Tarbiyah dzatiyah
adalah saran tsabat dan istiqamah, (6) Sarana dakwah yang paling kuat,
(7) Cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada, dan (8) Karena
keistimewaan tarbiyah dzatiyah.
1. Menjaga diri mesti didahulukan daripada menjaga orang lain
Tarbiyah
seorang muslim terhadap dirinya tidak lain adalah upaya melindunginya
dar i siksa Allah ta'ala dan neraka-Nya. Tidak diragukan lagi, menjaga
diri sendiri mesti lebih diutamakan daripada menjaga orang lain. Ini
sama persis dengan apa yang dikerjakan seseorang jika kebakaran terjadi
di rumahnya –semoga itu tidak terjadi-, atau di rumah orang lain, maka
yang pertama kali ia pikirkan ialah menyelamatkan rumahnya dulu. Hakikat
ini ditegaskan Allah ta'ala:
Hai orang-orang yang beriman, jagalah diri dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. (QS. At-Tahrim : 6)
Arti
menjaga diri dari neraka, seperti dikatakan Ibnu Sa'di rahimahullah,
ialah dengan mewajibkan diri mengerjakan perintah Allah ta'ala, menjauhi
larangan-Nya, bertaubat dari apa saja yang dimurkai-Nya dan
mendatangkan siksa. Inilah makna tarbiyah dzatiyah dan salah satu tujuannya.
2. Jika Anda tidak mentarbiyah diri Anda, siapa yang mentarbiyah Anda?
Siapa
yang mentarbiyah seseorang saat ia berusia lima belas tahun, dua puluh
tahun, tiga puluh tahun, atau lebih? Jika ia tidak mentarbiyah diri
sendiri, siapa yang mentarbiyahnya? Atau jika tidak ada pihak lain yang
mempengaruhinya? Sebab, kedua orang tuanya secara khusus, atau manusia
secara umum berkeyakinan ia telah dewasa, lebih tahu apa yang lebih
mendatangkan maslahat bagi dirinya, atau mereka sibuk dengan pekerjaan
mereka, hingga tidak punya waktu untuk mengurusnya.
Walhasil,
jika ia tidak mentarbiyah diri sendiri, ia kehilangan waktu-waktu
ketaatan dan moment-moment kebaikan. Hari dan umur terus bergulir,
sedang ia gagal mengetahui titik lemah dirinya dan ketidakberesannya.
Akibatnya, ia rugi saat kematian menjemput. Allah ta'ala berfriman,
(Ingatlah) hari Allah mengumpulkan kalian pada hari pengumpulan (QS. At-Taghabun : 9)
3. Hisab kelak bersifat individual
Hisab
pada hari kiamat oleh Allah ta'ala kepada hamba-hamba-Nya bersifat
individual, bukan bersifat kolektif. Artinya, setiap orang kelak
dimintai pertanggungjawaban tentang diri atau buruknya, kendati ia
mengklaim orang lain menjadi penyebab kesesatan dan penyimpangannya.
Kendati ada klaim seperti itu, mereka wajib dihisab bersama dirinya.
Allah ta'ala berfirman,
Dan setiap mereka datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri (QS. Maryam : 95)
Allah ta'ala berfirman,
Dan
setiap manusia telah Kami tetapkan amal perbuatannya di lehernya dan
Kami keluarkan baginya pada hari kiamat kitab yang dijumpainya terbuka.
Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai
penghisab terhadapmu. (QS. Al-Isra' : 13-14)
Disebutkan di hadits bahwa Rasulullah SAW bersabda:
Setiap orang dari kalian pasti diajak bicara Tuhannya, tanpa penerjemah antara dirinya dengan-Nya (Muttafaq alaih)
Karena
itu, barangsiapa mentarbiyah dirinya, insya Allah hisabnya diringankan
dan ia selamat dari siksa, dengan rahmat Allah ta'ala.
4. Tarbiyah dzatiyah itu lebih mampu menghasilkan perubahan
Setiap
orang pasti memiliki aib, kekurangan, atau melakukan kelalaian dan
maksiat, baik maksiat kecil atau dosa. Jika masalahnya seperti itu, ia
perlu memperbaiki seluruh susu negatif dirinya sejak awal, sebelum sisi
negatif tersebut membengkak. Dan, seseorang tidak dapat meluruskan
kesalahan-kesalahannya atau memperbaiki aib-aibnya dengan sempurna dan
permanen jika ia tidak melakukan upaya perbaikan dengan tarbiyah dzatiyah.
Ini
karena ia lebih tahu diri sendiri dan rahasianya. Ia lebih tahu
kekurangannya dan aib-aibnya sendiri. Jika ia menginginkan pembinaan
dirinya, ia juga lebih mampu mengendalikan dirinya menuju manhaj
tertentu, perilaku utama, dan gerakan yang bermanfaat.
5. Tarbiyah dzatiyah adalah saran tsabat dan istiqamah
Setelah bimbingan Allah ta'ala, tarbiyah dzatiyah adalah sarana pertama yang membuat muslim mampu tsabat (tegar) di atas jalan iman danpetunjuk, hingga akhir kehidupannya. Tarbiyah dzatiyah
juga garis pertahanan terdepan dalam melawan beragam fitnah dan bujuk
rayu, yang menyerang kaum muslimin dewasa ini dan membujuknya dengan
deras untuk menyimpang, gugur (dari jalan dakwah), loyo, malas, merasa
takut akan masa depan, dan putus asa dengan realitas masa kini.
Di sapek ini, perumpamaan tarbiyah dzatiyah seperti pohon, yang jika akar-akarnya menancap kuat di bumi, amak pohon tersebut tetap kokoh, kendati diterpa angin dan badai.
6. Sarana dakwah yang paling kuat
Esensinya,
setiap muslim dan muslimah adalah dai ke jalan Allah ta'ala. Ia
memperbaiki kondisi yang ada, mengajar, memberi taujih, dan mentarbiyah.
Agar ia diterima manusia, baik sanak kerabatnya atau orang yang jauh
darinya, dan punya kekuatan melakukan perbaikan dan perubahan di
kehidupan mereka, ia perlu bekal kuat. Dan, cara efektif untuk
mendakwahi mereka dan mendapatkan respon mereka ialah ia menjadi qudwah
yang baik dan teladan yang istimewa dalam aspek iman, ilmu, dan akhlak.
Qudwah tinggi dan pengaruh kuat tersebut tidak dapat dibentuk oleh
sekian khutbah dan ceramah saja. Namun, dibentuk oleh tarbiyah dzatiyah yang benar.
7. Cara yang benar dalam memperbaiki realitas yang ada
Adakah
diantara kaum muslimin yang tidak merasa prihatin dengan kondisi yang
ada pada umat Islam, di berbagai aspek di kehidupan mereka, baik aspek
keagamaan, ekonomi, politik, pers, sosial, atau aspek-aspek lainnya?
Jawabnya, tentu tidak ada.
Tapi bagaimana kiat memperbaiki
realitas pahit yang dialami umat kita sekarang? Apa langkah efektif
untuk melakukan perbaikan? Dengan ringkas, langkah tersebut dimulai
dengan tarbiyah dzatiyah, yang
dilakukan setiap orang dengan dirinya, dengan maksimal, syamil, dan
seimbang. Sebab, jika setiap individu baik, baik pula keluarga,
biidznillah. Lalu, dengan sendirinya, masyarakat menjadi baik.
Begitulah, pada akhirnya realitas umat menjadi baik secara total,
sedikit demi sedikit.
8. Karena keistimewaan tarbiyah dzatiyah
Urgensi tarbiyah dzatiyah
lainnya mudah diaplikasikan, sarana-sarananya banyak, dan selalu ada
pada kaum muslimin di setiap waktu, kondisi, dan tempat. Ini berbeda
dengan tarbiyah ammah yang punya waktu-waktu tertentu, atau
tempat-tempat khusus. [Sumber: Tarbiyah Dzatiyah karya Abdullah bin Abdul Aziz Al-Aidan]